Kamis, 22 Desember 2011

Indonesia Era Reformasi


Indonesia Era Reformasi
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada

            Setelah runtuhnya rezim orde baru tahun 1998, Indonesia telah mengukir awal sejarah baru bangsa kearah perubahan signifikan kearah demokrasi. Perlu di cermati, kajian demokrasi Indonesia lebih mengacu pada anomie, ditengarahi hal ini dipengaruhi oleh kokohnya rezim neopatrimonial di tangan Soeharto. Gelombang democratisasi punya efek disfusi luar biasa di Indonesia yang melahirkan semangat dan gerakan pro-demokrasi dalam arena masyarakat sipil sejak dekade 1980-an. Setiap bentuk wacana dan gerakan demokrasi selalu diberantas secara represif oleh tangan-tangan baja rezim Soeharto di masa lalu. Kendati demikian, meruntuhkan pemerintahan Soeharto adalah jalan menuju transisi demokrasi yang sangat problematis.[1]
            Perubahan sistem pemerintahan perlahan telah berubah setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Presiden Soeharto di tuntut mundur oleh berbagai pihak karena dianggap telah melakukan ketidak wajaran atau penyimpangan atas hak-hak dalam masyarakat umum dalam menjalankan roda pemerintahan. Upaya sentral dalam pergolakan ini dimotori oleh mahasiswa atas asumsi dasar menuntut hak-hak yang telah di salah gunakan oleh pemerintahan.
            Pergantian sistem demokrasi telah memberi banyak pelajaran berharga untuk pembangunan bangsa. Dari sebuah kesalahan sistem negara yang telah mengukir sejarah, perlu untuk dipelajari bagi generasi penerus bangsa mendatang. Ketegangan di masa lampau pastinya tidak akan lepas dengan mudah dari ingatan-ingatan pelaku sejarah. Fakta-fakta tersebut mudah dijumpai melalui buku-buku, film dokumenter, sumber informasi dari internet, atau bahkan pelaku hidup sejarah.
Era reformasi telah mengukir sejarah baru. Secara garis besar era reformasi menceritakan tentang transisi dari rezim neopatrionial yang tentunya akan berbeda dengan rezim otoritarian-korporatis. Transisi dari era rezim otoritarian-korporatis pada umumnya melalui jalur negosiasi di antara kekuatan yang bertarung untuk memperebutkan suatu kekuasaan. Jalur musyawarah bersama akan menentukan arah tujuan setelah runtuhnya rezim yang lama.
            Dari banyaknya aktor politik yang berperan, konsentrasi ini dikerucutkan pada beberapa peran militer, kekuatan politik mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya yang berada pada akar rumput. Peran dari militer telah menempati posisi kuat dalam struktur. Peran angkatan bersenjata Indonesia atau yang dulu disebut ABRI, mempunyai peranan besar dalam menyetabilkan keamanan negara kala itu. Jika menengok kebelakang, pola penerapan keamanan yang dijalankan angkatan militer dapat dikatakan diluar batas kewajaran hingga tindakan represif yang dilakukan kerap kali menumbulkan jatuh korban. Pada akhirnya tindakan ini mulai dicekal berbagai pihak.[2]

Konflik Perebutan Kekuasaan
          Dalam menganalisis konflik yang terjadi kita harus mengenal metode pendekatan struktural konflik. Yang ditekankan oleh struktural konflik adalah masyarakat mencangkup berbagai bagian yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan.[3] Dalam mencapai sebuah tujuan tentunya ada pula legitimasi dalam politik. Politik adalah naluri kekuasaan untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial secara keseluruhan. Agar dapat berjalan secara efektif, kekuasaan harus tampak (selalu) benar dihadapan pihak-pihak yang dikuasai, oleh karena itu dia butuh di legitimasi, demikian tesis politik yang dikemukakan Habermas (F. Hardiman, 1993).[4] Hal tersebut pun mengakibatkan masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan dari kelompok yang dominan sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik.[5]
            Jika dihubungkan dengan analisis di atas Indonesia era reformasi terjadi keguncangan politik yang sangat dramatis pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Politik kekuasaan pada masa itu dianggap keruh karena  beberapa kalangan terlalu memihak pada pihak yang dominan dalam kekuasaan. Pihak yang dominan dimaksud disini jelas tertuju pada pihak pemerintahan, militer yang semasa itu juga menjalankan peran dalam pemerintahan, dan juga lembaga hukum Negara.
            Melihat hal tersebut, yang di awali dari mahasiswa beserta dukungan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan keadilan yang mereka sebut perubahan lebih baik (revolutioner). Aksi pertama yang dilakukan mahasiswa adalah aksi demonstrasi besar-besaran. Banyak Universitas yang tergabung dalam  demonstrasi di Jakarta ini. Dukungan tidak hanya dari Universitas di Jakarta saja, bahkan masih banyak universitas di luar ibu kota yang ikut bergabung dalam demonstrasi tersebut. Tujuan yang mereka inginkan adalah turunnya presiden dan hal utama yang diinginkan adalah system Negara yang harus diperbaharui. System Negara yang paling mencolok disini adalah keadilan di Indonesia yang dianggap disalah gunakan oleh pihak penguasa atau pihak pemerintah. Hal ini pun mengacu pada lembaga hukum.

Reformasi Hukum
            Dalam melihat system hukum di Indonesia era reformasi, jelas ada unsur keraguan oleh pihak-pihak asing yang juga mengikuti perkembangan politik di Indonesia. Permasalahan struktur lain dari reformasi hukum Indonesia bagi organisasi multilateral asing ialah bahwa mereka cenderung memandang system hukum melalui prisma system hukum mereka sendiri, dalam artian mereka memandang hukum Indonesia hampir disamakan dengan hukum negaranya. Secara universal, hukum beberapa Negara memang terlihat hampir sama. Dalam suatu kebijakan Negara tentunya juga ada kebijakan yang mengatur hukum yang berlaku, yaitu lembaga hukum negara.
            Dalam era reformasi di Indonesia hukum menjadi melemah karna beberapa faktor yang dianggap menggerogoti lembaga hukum Indonesia.  Faktor-faktor tersebut tentunya tidak akan lepas dari ekonomi. System hukum Indonesia banyak menuai kritikan disamping itu seperti yang dijelaskan sekilas diatas, system hukum juga tidak mengatur pemisahan kekuasaan antara pihak yudikatif dengan pihak eksekutif dan kerap kali hal yang tidak di ingginkan terjadi adalah subyek suap menyuap atau intimidasi.
            Dalam konteks ini, Indonesia belum menjadi Negara hukum, sebuah Negara yang konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar hukum. Pembahasan tim Lindsey tentang proses reformasi memfokuskan pada aspek legal ini, dengan menekankan bahwa agar proses ini berhasil maka Indonesia harus menjadi Negara hukum. Tentang ini, setidaknya kalangan oposisi dan donor luar sepakat ketika melihat pemerintahan Habibie. Lidney juga mencatat bahwa apa yang diharuskan oleh Negara hukum tentang pemerintahan Indonesia dan apa peran hukum dalam proses tersebut masih sangat kabur.[6] Hal ini pun tergambar jelas era reformasi yang menjadi penyulut api revolusi dan menjadi tuntutan masyarakat dalam kesejahteraan.

Kritik atas Ekonomi dan Politik
          Konflik dalam Negara pada dasarnya disebabkan oleh kemajemukan horizontal. Kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara cultural. Majemuk secara social atau cultural dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang pengusaha, pegawai negeri sipil, militer, wartawan, alim ulama, dan cendekiawan.[7] Konflik ini pun dipicu karena pemikiran atas dasar kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Dalam hal ini pemerintah menempati posisi paling atas dalam kebijakan ekonomi maupun politik.
            Kelompok masyarakat yang merasa di anggap rendah dalam status sosialnya lebih cenderung disepelekan oleh pihak pemerintah. Dari hal yang menganggap merendahkan setatus sosial masyarakat adalah pemicu utama terjadinya konflik besar. Kebijakan saat reformasi yang dianggap masyarakat umum merugikan adalah kebijakan dalam hal menghendaki harga beras dan harga bahan bakar yang melambung akibat krisis moneter. Akan tetapi sebenarnya kebijakan tersebut juga di buat oleh pemerintah untuk menyetabilkan harga-harga pada umumnya. Seharusnya kebijakan yang dibuat pemerintah harus mempertimbangkan sisi ekonomi masyarakat kaum bawah bukan malah justru memicu perpecahan dalam kebijakan yang dibuat pemerintah. Akan tetapi, sebenarnya tujuan kebijakan pemerintah adalah menciptakan dan menegakkan aturan main yang adil terkadang mengalami kontrofersi di dalam masyarakat.
            Dari masalah ekonomi pada ujungnya, lalu berkembang pada masalah kebijakan yang mengacu pada konflik politik di masyarakat.  Faktor ini sering kali dianggap masyarakat bahwa pemerintah masih pincang dalam mengambil keputusan.  Di lain hal, kebijakan ini terjadi tidak merata dalam struktur masyarakat. Ada yang di untungkan dan juga ada yang dirugikan. Pihak yang di untungkan paska reformasi adalah pihak pemerintah dan kapitalis. Dan sebaliknya pihak yang dirugikan adalah masyarakat umum, atau buruh.
            Bagaimanapun, dalam mencoba berbuat demikian pemerintahan Habibie berhadapan dengan krisis-krisis yang berlangsung berkelanjutan pada system politik, keuangan, ekonomi, dan administrasi. Berhadapan dengan semua ini, Habibie juga harus menghadapi agitasi anti-korupsi yang meluas di masyarakat, yang menunjukkan dalamnya apriori rakyat dan besarnya hambatan legal dan etis terhadap reformasi. Bebas dari batasan-batasan dari Ordebaru, sebuah proses politik yang tergesa-gesa tetapi syarat motivasi yang tinggi telah mengembalikan negosiasi consensus politik yang demokratis melalui mekanisme parlemen.[8]
            Dari banyaknya problema masyarakat Indonesia era reformasi ini juga dasar atas demonstrasi besar-besaran yang terjadi paska reformasi. Tuntutan ini pun memnginginkan perubahan-perubahan kebijakan pemerintahan. Dalam suasana demo kerapkali menjadi panas di lapangan. Sebenarnya arah konflik menjadi menyimpang ketika di lapangan. Sasaran ketidak puasan mahasiswa ataupun masyarakat berubah mengacu pada militer yang dianggap menghalangi tercapainya aspirasi mereka.

Konflik dengan Militer
            Aktor yang ikut andil dalam demonstrasi adalah militer dari pihak pemerintah, gabungan mahasiswa serta masyarakat yang juga mempunyai ideology politik muslim. Lakon yang ditempati militer atau angkatan bersenjata yang bertujuan menyetabilkan keadaan adalah ABRI. Posisi ini pun sebenarnya bertempat pada posisi sentral seperti pada masa pemerintahan Soeharto. Di lingkup inilah ABRI menjadi tulang punggung pemerintahan. Di dalam peranannya ABRI benar-benar melakukan peranan yang sangat tegas dalam mengambil keputusan dalam menjaga kesetabilan keamanan Negara.
            Dalam tugasnya ABRI secara tegas ingin membubarkan demonstrasi atas tuntutan-tuntutan kepada pemerintah. Cara yang digunakan bisa disebut juga cara kekerasan. Dilain sisi ABRI juga dipersenjatai lengkap untuk membubarkan demonstrasi. Dari pihak yang berada di lingkup demonstrasi, entah siapa yang memulai, keadaan pun pecah menjadi konflik pertikaian. Yang perlu digaris bawahi ialah kegunaan senjata yang fungsinya untuk menjaga keamanan dari musuh justru berbalik kepada masyarakat demonstran.
            Senjata yang digunakan dalam membubarkan para demonstran pun terbilang sangat dahsyat. Akan tetapi masyarakat tidak gentar dalam menanggapi persenjataan yang dimiliki ABRI. Pada akhirnya banyak jatuh korban di kedua belah pihak dalam unjuk rasa menuntut kesejahteraan. Kalau di telusuri dari kedua belah pihak memang mempunyai tujuan masing-masing, sehingga terkadang tujuan yang dicapai cenderung pada konflik kekerasan yang terjadi paska reformasi.

Demokrasi membutuhkan persetujuan.
Persetujuan membutuhkan legitimasi.
Legitimasi membutuhkan kinerja yang efektif.
Tetapi efektifitas bisa dikorbankan untuk persetujuan.
(Larry Diamons).[9]

            Tunggu saja kalau nanti kita kacau akan dating orang kuat,
            dan merampas segala kebebasan yang sudah kita perjuangkan.
            Kembali Indonesia dikuasai orang kuat.
            (Nurcholish Madjid).[10]


Kesimpulan dan Penutup
Melalui penjabaran dan uraian di atas secara singkat kiranya memberi kita pembelajaran yang baik dalam mengenang sejarah Indonesia. Akan tetapi Era Reformasi di Indonesia juga salah satu pembelajaran kita sebagai generasi penerus bangsa. Kemudian tentunya juga menempatkan posisi negeri ini yang lebih sempurna dalam hal pengalaman politik Negara. Disadari atau tidak, beberapa hal tersebut juga merupakan duka bangsa Indonesia di masa lampau yang sekarang tersurat dan tersirat pada para pelaku sejarawan.
Perjuangan antara pemerintah Habibie dan lawan-lawannya dapat digambarkan sebagai suatu pembaruan dari perdebatan panjang dan takterselesaikan antara pendukung Negara hukum dan pendukung staatsidee integralistik yang secara historis dominan. Isu-isu yang dimunculkan oleh Negara hukum itu kompleks dan tidak harus bersesuaian dengan pemahaman rule of law di barat. Kendati demikian, ada konsesus diantara pendukung reformasi bahwa sesuatu yang berhubungan dengan rule of law sudah implicit dalam Negara hukum.
Masalah yang di hadapi Indonesia sekarang adalah bahwa proses pembaharuan ini membutuhkan debat publik yang panjang, membuka kembali perbedaan-perbedaan politik lama dan eksposif, jika ‘bangsa dari bangsa-bangsa’ ini hendak menyelesaikan ‘kisah’ politik baru yang tidak melibatkan integralisme dan konsekuensinya adalah tata hukum baru. Perpecahan diantara kelompok-kelompok oposisi menjadi bagian yang takterhindarkan dari proses ini. Bagaimanapun, proses ini sangat rentan terhadap manipulasi oleh bekas elit Orde Baru yang melakukan resistensi. Organisasi-organisasi multilateral asing yang mendukung reformasi di Indonesia memiliki catatan yang memprihatinkan dalam mencapai reformasi sesungguhnya. Struktur organisasi-organisasi multilateral ini membatasi pencapaian nilai dari dukungan mereka dan dalam banyak hal cenderung destruktif.
Perubahan yang berlangsung terus dan efektif untuk mendesakkan rule of law tidak akan dating dengan tiba-tiba di Indonesia, bagaimanapun radikalnya dukungan terhadap reformasi.[11] Secara disadari oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat jalan reformasi adalah jalan hukum yang sulit. Maka jalan yang sulit ini pasti akan kembali menuju pada masa lalu demokrasi Indonesia yang tak terpecahkan.

Terima kasih. . .

Daftar Pustaka

            *      Eko, Sutoro. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: APMD Pres.
*      Budiman, Arief . 2000. Harapan Dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia(Trjm). Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
*      Surbakti, Ramlan. Cetakan 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
*      Al-Zastrouwi. 1998. Reformasi Pemikiran. Yogyakarta:  LKPSM.
*      McGillivray, M and Morrisey, O (eds). 1999. Evaluating Economic Liberalisation. London: Macmilan.
*      Diamond, Larry . “The Paradoks of Democracy”, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner, (eds.), The  Global Resurgence of Democracy (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1993)



[1] Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia, APMD Pres, Yogyakarta, 2003, h, v.
[2] Arief Budiman, Harapan Dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia(Trjm),
BIGRAF Publishing, Yogyakarta, 2000.
[3] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, cetakan ke-6, 2007,  h. 149.
[4] Al-Zastrouwi, Reformasi Pemikiran, LKPSM, Yogyakarta, 1998, h. 51.
[5] Ramlan Surbakti, op. cit., h. 149.
[6] M McGillivray and O Morrisey (eds), Evaluating Economic Liberalisation, Macmilan, London, 1999.
[7]  Ramlan Surbakti, op. cit., h. 151-152.
[8] Arief Budiman, op, cit, h. ix.
[9] Larry Diamond, “The Paradoks of Democracy”, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner, (eds.), The  Global Resurgence of Democracy (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1993), h. 93.
[10]  Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru, APMD Press, Yogyakarta,
2003, h. 331.
[11] Arief Budiman, op, cit, h. 218-219.

Ekonomi Politik Ketergantungan


EKONOMI POLITIK KETERGANTUNGAN[1]
            Teori pembangunan konvensional (murni ekonomi) atau kemudian dikenal dengan teori modernisasi pada dasarnya menjelaskan bahwa kemajuan atau keterbelakangan (development and underdevelopment) diukur dari seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi itu sendiri semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi. Pertumbuhan output nasional (produk domestik, GNP) tergantung atau dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, seperti jumlah penduduk, kapital, dan tanah yang tersedia.
            Namun dalam kenyataannya, yang menentukan output nasional seringkali bukan hanya faktor-faktor ekonomi seperti itu. Faktor-faktor non-ekonomi, yaitu sosial politik juga ikut menentukan jalannya pembangunan pada suatu negara. Bagian pertama bab ini mencoba memberikan gambaran tentang jalan pikiran (teori-teori) yang digunakan oleh ekonom murni, kemudian dilanjutkan dengan kritik dan jalan pikiran dari kaum strukturalis (berupa teori ketergantungan) yang memasukkan faktor kelembagaan (politik) dalam analisisnya.
A.     DARI KLASIK KE KETERGANTUNGAN
Dalam ekonomi pembangunan, pembagian kerja secara internasional merupakan satu solusi penting untuk memajukan bangsa-bangsa. Teori ini meyakini bahwa efisiensi bisa dicapai jika setiap negara melakukan spesialisasi. Negara-negara di kawasan khatulistiwa karena tanahnya subur menspesialisasi pada produk pertanian. Adapun negara-negara di kawasan utara karena tanahnya yang tidak subur, menspesialisasikan diri pada produk industri. Kemelimpahan pada salah satu produk dan kebutuhan produk lain mendorong munculnya perdagangan internasional (international trade). Ada keyakinan bahwa kedua belah pihak, negara industri dan negara pertanian akan mencapai kemajuan sendiri.
Namun demikian, pada akhirnya fakta menunjukkna bahwa jalan ceritanya tidak semulus yang diharapkan. Fakta menunjukkan bahwa hampir semua negara yang menspesialisasikan diri pada produk barang industri ternyata menjadi negara maju. Adapun hampir semua negara yang menspesialisasikan diri pada produk pertanian menjadi negara terbelakang. Pertanyaan menarik diajukan adalah mengapa itu bisa terjadi? Pertanyaan itu kemudian mendorong munculnya teori-teori pembangunan yang menjelaskannya. Teori pembangunan bisa dikelompokkan dalam teori mazhab analisis yang mencoba membuat model-model teoretis tentang pertumbuhan ekonomi. Teori yang dimaksud adalah teori klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith, David Ricardo, Arthur Lewis, Rannis-Fei, Solow Swan, dan Harrod Domar. Selain itu, terdapat mazhab historis yang mencoba melihat sejarah perkembangan suatu negara. Mazhab historis ini antara lain disokong oleh Rostow yang mengemukakan tentang pertumbuhan, dan Karl Marx dengan pendapatnya tentang dialektika historis.
Penggolongan teori juga bisa dikelompokkan dalam kelompok teori modernisasi dan teori structural. Teori modernisasi adalah teori yang menjelaskan baahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal (dalam negeri). Teori struktural merupakan teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di berbagai negara. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kekuatan luar yang menyebabkan negara bersangkutan gagal melakukan pembangunan.[2]
B.      PEMBANGUNAN MENURUT ARUS UTAMA
Teori modernisasi mendominasi pemikiran tentang teori pembangunan sebagai arus utama (mainstream) dalam literatur ekonomi. Semua teori modernisasi menekankan masalah faktor internal sebagai awal dari keterbelakangan dan kemajuan bangsa.
Teori pertumbuhan ekonomi dari David Ricardo merupakan pengembangan dari teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Adam Smith. Oleh karena itu, garis besar dari proses pertumbuhan dan kesimpulan yang ditarik oleh Ricardo tidak berbeda dengan Adam Smith. Kesimpulannya adalah bahwa perpacuan antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi akhirnya akan dimenangkan oleh pertumbuhan penduduk. Dalam jangka panjang, perekonomian akan mencapai keadaan stasioner.[3]
David Ricardo bisa dianggap mewakili kaum klasik dalam membangun teorinya. Sebagaimana ciri dan mazhab klasik, Ricardo memusatkan perhatian pada peranan manusia dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, output nasional (GDB) tergantung / ditentukan semata-mata oleh jumlah penduduk (sebagai tenaga kerja). Apabila jumlah penduduk meningkat pesat, output akan meningkat pula. Sebaliknya, jika jumlah penduduk menurun tingkat output juga akan menurun. Demikian juga apabila jumlah penduduk konstan, tingkat output juga akan konstan. Karena tingkat pertumbuhan ekonomi (GDB) ditentukan oleh jumlah penduduk, perhatian tentu dipusatkan pada jumlah penduduk.
Ricardo menyatakan bahwa jumlah penduduk amat ditentukan oleh tingkat upah berlaku. Apabila tingkat upah di atas upah yang disebutnya pas-pasan untuk hidup (subsistence), jumlah penduduk cenderung meningkat karena setiap orang merasa mampu hidup sejahtera dan dapat menambah jumlah anak dalam keluarga. Namun, kecenderungan ini justru akan mendorong penurunan tingkat upah mengingat terlalu besarnya supply tenaga kerja. Namun jika tingkat upah dibawah tingkat upah pas-pasan untuk hidup, jumlah penduduk cenderung menurun mengingat ketidakmampuan setiap orang menanggung beban hidup dengan keluarga yang banyak. Penurunan jumlah penduduk akan menaikkan tingkat upah. Dalam jangka panjang, tingkat upah akan cenderung sama dengan tingkat upah yang pas-pasan untuk hidup. Sehingga tidak ada dorongan untuk menambah atau mengurangi jumlah penduduk.
Oleh karena itu, Ricardo mengasumsikan bahwa dalam jangka panjang, jumlah penduduk akan konstan. Karena output tergantung pada jumlah penduduk, diperkirakan dalam jangka panjang output nasional cenderung konstan (berhenti berkembang) sehingga pendapatan perkapita akan konstan. Karena pada tingkat upah alamiah, tingkat upah konstan pertumbuhan penduduk menjadi konstan (berhenti bertambah). Akibatnya, bagian dari kaum kapitalis atas produksi juga konstan pada tingkat minimal, akumulasi kapital berhenti. Kondisi ini yang kemudian dikenal sebagai kondisi stasioner (stasionary state). Dengan teorinya, Ricardo menunjukkan bahwa pertumbuhan output (Pertumbuhan ekonomi) bisa terjadi tanpa diikuti dengan perubahan bagian dari masing-masing pelaku ekonomi.
1. The unlimited Supply of Labor
Teori yang dikemukakan oleh David Ricardo dibangun atas asumsi adanya keterbatasan jumlah penduduk dalam jangka panjang. Namun asumsi ini oleh Arthur Lewis dianggap tidak relevan dengan kondisi negara-negara sedang berkembang ketika jumlah penduduk (tenaga kerja) tak terbatas jumlahnya (unlimited supply of labour). Berapapun tenaga kerja dibutuhkan oleh sektor industri (sektor modern), akan dipasok oleh tenaga kerja dari daerah pedesaan yang bergerak disektor tradisional / pertanian. Jumlah tenaga kerja yang tidak terbatas memungkinkan berkembangnya sektor industri yang belum tentu diikuti dengan kenaikan upah buruh.
Pertumbuhan ekonomi terjadi karena adanya proses akumulasi kapital ketika surplus (keuntungan) kapitalis akan diinvestasikan pada sektor produktif. Investasi (pembukaan usaha) akan membuka peluang kerja bagi masyarakat disektor tradisional (pertanian). Akumulasi kapital membuat surplus kapitalis menjadi besar untuk kemudian diinvestasikan kembali pada sektor produktif dan kembali membuka kesempatan kerja bagi penduduk sektor tradisional. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti dengan peningkatan upah buruh menyebabkan kaum kapitalis (industrialis) mendapatkan surplus yang semakin tinggi. Dengan perkembangan ekonomi yang pesat terjadi, sementara upah atau nasib kaum buruh tidak mengalami perubahan. Kesimpulan ini tentu amat berbeda dengan yang dilakukan oleh Ricardo yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi disertai peningkatan kesejahteraan kaum buruh. Kesejahteraan kaum buruh naik secara konstan ketika kesejahteraan kaum kapitalis juga naik secara konstan sehingga pertumbuhan ekonomi terjadi juga hanya secara konstan.
Proses pertumbuhan ekonomi akibat dari proses akumulasi kapital akan terus berlangsung sampai saat ketika muncul kondisi berikut:
a. Tidak ada lagi surplus tenaga kerja;
b. Sektor modern berkembang amat cepat sehingga mengurangi penduduk sektor tradisional dengan cukup signifikan;
c. Sektor tradisional menggunakan teknik baru sehingga upah riil buruh sektor pertanian meningkat begitu juga upah sektor modern sehingga mengurangi surplus kapitalis.

2. Peran Saving
Dalam perkembangannya, Harrod dan Domar memasukkan peran penting dari tabungan (saving) dalam menentukan pertumbuhan ekonomi. Teori yang kemudian dikenal dengan Teori Harrod Domar berasal dari dua karya yang ditulis secara berbeda dengan kesimpulan yang relatif sama, yaitu dari Roy Harrod dan Evsy Domar. Teori Harrod Domar menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tingkat tabungan dan investasi. Kalau tingkat tabungan rendah, pertumbuhan ekonomi juga rendah, demikian pula sebaliknya. Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi, tabungan, dan investasi dituangkan dalam “rumus Harrod-Domar” yang menjadi sangat populer dikalangan ekonom pembangunan.
      Teori makro dari ekonomi klasik menekankan bahwa sumber utama pertumbuhan ekonomi terletak pada sisi supply. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh J.B. Say bahwa supply creates its owndemand (suplai menciptakan sendiri permintaannya). Di sisi lain, Keynes menekankan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi terletak pada sisi pengeluaran. Pendapatan nasional akan mengalami peningkatanjika ada perubahan pengeluaran oleh rumah tangga (konsumsi), perusahaan (investasi) atau pemerintah (government expenditure). Harrod Domar pada dasarnya mengingatkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (warrated rate of growth) akan terjamin apabila terjadi keseimbangan antara sisi produksi (klasik) dengan sisi pengeluaran (Keynes).
C.      PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN KELEMBAGAAN
Salah satu teori menunjukkan bahwa ada faktor lain diluar faktor ekonomi yang menentukan pembangunan adalah teori dari Rostow.[4] Teori Rostow merupakan teori yang banyak diadopsi oleh negara sedang berkembang sebagai model pembangunan. Teori Rostow menjadi dikenal karena ia juga mempertimbangkan aspek non-ekonomi dalam pembangunan.
Pembangunan menurut Rostow bukan saja mensyaratkan adanya perubahan struktural dari dominasi sektor pertanian kearah pentingnya sektor industri, melainkan juga mensyaratkan terjadinya perubahan aspek sosial politik dan budaya berupa[5] hal-hal berikut:
a.      Terjadinya perubahan orientasi dari institusi sosial, politik, ekonomi, dari berorientasi kedalam negeri (inward looking) menjadi berorientasi keluar negeri (outward looking). Tantangan dan peluang bukan hanya berlingkup domestik tetapi juga berlingkup internasional.
b.      Terjadinya perubahan orientasi penduduk dari berorientasi mempunyai jumlah anak banyak menjadi berorientasi mempunyai jumlah anak sedikit.
c.       Terjadinya perubahan dalam pola menabung dan berinvestasi dari investasi yang tidak produktif kearah investasi yang produktif (menabung di perbankan, menginvestasikan pada sektor riil).
d.      Terjadinya perubahan orientasi dari masyarakat dalam memilih pemimpin berdasarkan atas keturunan menjadi berdasarkan atas kecakapan dengan menekankan pada pentingnya nilai-nilai demokratis.
e.      Terjadinya perubahan dalam memandang alam, dari hambatan menjadi tantangan yang mendorong perkembangan. 
D.     KETERGANTUNGAN: BORJUIS DAN KETERBELAKANGAN
Kekecewaan terhadap arus utama (mainstream) muncul karena dalam kenyataannya, sukses negara maju tidak bisa dikopi begitu saja di negara sedang berkembang. Dalam situasi keterbelakangan, bagaimana mungkin ada arus saving dan investasi, bagaimana mungkin manusia bisa memunculkan inovasi? Dalam keadaan inilah, muncul pemikiran dari ahli ekonomi pembangunan yang berasal dari negara dunia ketiga tentang teori ketergantungan. Pemikiran yang akan dijelaskan berikut ini bisa dikelompokkan dalam ekonomi politik karena teori-teori ketergantungan pada dasarnya meyakini bahwa keputusan dalam alokasi sumber daya tidaklah cukup atas pertimbangan efisiensi melainkan lebih dari itu berkaitan dengan kepentingan publik.[6]
Teori ketergantungan pada dasarnnya sejalan dengan semangat teori struktural, yaitu teori yang menjelaskan perilaku manusia dan gejala atau proses sosial yang terjadi terutama lebih menekankan kepada faktor-faktor lingkungan sebagai penyebabnya. Bahwa kemajuan dan keterbelakangan bangsa-bangsa terjadi bukan terutama disebabkan oleh sikap mental atau kultur bangsa melainkan karena lingkunganlah yang dianggap memaksa bangsa menjadi bangsa maju atau terbelakang. Kemajuan bangsa bukan karena penduduknya mempunyai perilaku progresif, pekerja keras, dinamis, melainkan faktor eksternal yang memungkinkan mereka mencapai kemajuan. Sebaliknya, keterbelakangan bangsa bukan disebabkan oleh faktor penduduknya yang malas dan faktor produksinya yang tidak ada, melainkan karena faktor lingkungan berupa hubungannya dengan bangsa-bangsa lain. Baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang.
Mengapa skenario pembagian kerja internasional untuk memajukan negara industri dan negara agraris tidak terpenuhi? Raul Preibisch, seorang ekonom yang bekerja pada sebuah lembaga PBB, ECLA (Economic Commission for Latin America) menyatakan bahwa fakta menunjukkan adanya polarisasi nasib antara negara industri maju dan negara agraris. Negara industri (negara pusat) cenderung menjadi negara maju sedangkan negara agraris menjadi negara pinggiran, periferal, atau terbelakang yang selalu tergantung (dependen) terhadap negara maju.
Pengaruh aspek politik yang menyebabkan ketergantungan dikemukakan oleh Andree Gunder Frank[7]. Andree Gunder Frank yang bekerja sama dengan Prebisch pada economic Commission for Latin America mempunyai pandangan yang sama dengan Prebisch. Ketergantungan negara-negara satelit (negara pariferal) terhadap negara metropolitan (negara pusat) diyakini terjadi sebagai akibat globalisasi sistem kapitalisme. Keterbelakangan negara-negara satelit adalah akibat langsung dari terjadinya pembangunan di negara-negara metropolis.
Prebisch melihat aspek ekonomi dari persoalan ketergantungan, yaitu ketimpangan nilai tukar. Frank melihat ketergantungan negara satelit terhadap negara metropolis berkaitan dengan aspek politik antara pemodal asing dengan kelompok yang berkuasa di negara-negara satelit. Kaum borjuis di negara-negara metropolis mengembangkan sayap bisnisnya dengan melakukan kerja sama dengan pejabat-pejabat pemerintah di negara satelit dan kaum borjuis dinegara tersebut. Hasil dari kerjasama antara pemodal asing dan pemerintah setempat adalah keluarnya kebijakan yang menguntungkan pemodal asing dan borjuis lokal[8]. Kegiatan ekonomi di negeri itu praktis didominasi oleh ekonomi dari pemodal asing dengan “kaki tangannya” di dalam negeri. Kaum borjuis lokal dalam konteks ini dijadikan sebagai payung politik bagi beroperasinya perusahaan-perusahaan asing. Oleh karena itu, kemajuan ekonomi hanya berkutat pada tiga pihak, yaitu pemodal asing, borjuis lokal, dan pejabat pemerintah sedangkan rakyat banyak teralienasi dari perekonomian nasional. Terjadi ketimpangan pendapatan antara sejumlah elit dan massa proletar.
Dalam situasi seperti itu,  massa proletar seolah seperti anak ayam kehilangan induk, tidak bisa mengadukan persoalan kepada para satelit kekuasaan. Tuntutan untuk melepaskan hubungan dengan investor asing tidak mungkin dilakukan karena mereka yang seharusnya menjadi tempat mengadu (pengusaha dalam negeri) dan pejabat pemerintah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari borjuis asing sebagai kaki tangannya. Karena jalan damai tidak mungkin dilakukan, untuk memutuskan hubungan dengan asing maka solusi yang direkomendasikan adalah sebuah revolusi sosial rakyat, memberontak terhadap pemerintah.

Rujukan refrensi terkait:
Budiman, Arief. 1985. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia.
Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta:BPFE.
Amir Effendi Siregar. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sukirno, Sadono. 1982. Ekonomi Pembangunan, Jakarta: UI Press.
Hudiyanto. 2005. Ekonomi Politik, Jakarta: Bumi Aksara.



[1] Hudiyanto, Ekonomi Politik, Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
[2] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 18.
[3] Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 1982.
[4] Baca juga misalnya kumpulan tulisan yang disunting Amir Effendi Siregar: Arus Pemikiran ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
[5] Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, UI Press, Jakarta, 1982.
[6] Lihat Amir Effendi Siregar, Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
[7] Arief Budiman, op. cit., hlm. 64-73.
[8] Arief Budiman, ibid.

Sabtu, 10 Desember 2011

Setapak Langkah Menuju Indonesia Lebih Baik

Setapak Langkah Menuju Indonesia Lebih Baik
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada

RABU petang, 30 November 2011, ratusan orang berjubel menghadiri dialog kebudayaan. Diantaranya yang menjadi pengisi acara adalah Busyro Muqoddas (Ketua KPK), Chandra Hamzah (Wakil Ketua KPK), Timur Pradopo (Kapolri), Dharmono (Wakil Jaksa Agung RI), Sujiwo Tejo (Seniman), dan lain sebagainya. Acara yang diselenggarakan bertempat di Pendopo Taman Siswa Yogyakarta mencoba mensinkronkan pendapat masyarakat secara gamblang mengenai beberapa kasus yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, aspirasi masyarakat biasa bisa langsung di utarakan panda narasumber terkait.


Diskusi terbuka yang dipimpin Ainun Nadjib yang akrab dikenal di masyarakat dengan panggilan “Cak Nun” membuka acara dengan diiringi musik-musik tradisional bernuansakan religi dan nasionalis. Tak kalah menarik, Sujiwo Tejo juga ikut andil mengisi acara dengan sebuah tembang berjudul “Titi kolo Mongso” sebagai pengantar dialog terbuka malam itu. “Indoneia adalah negara yang besar yang dapat menyatukan budaya dari seluruh kalangan masyarakat.”, ujar Cak Nun yang mencoba merangkul semua kalangan yang hadir, bahwa dengan antusias nasionalis bangsa Indonesia masyarakat Indonesia dapat disatukan dengan damai. “Indonesia ini bisa menyatukan apa yang dunia tidak bisa satukan,” tambahnya.

 Bertemakan “Dialog Kebudayaan: Negara Hukum, Manusia Akhlak” menarik antusias masyarakat umum. Diantaranya yang telah menghadiri acara pada malam hari itu adalah para aktivis, LSM, mahasiswa hingga tukang becak tak mau melewatkan acara tersebut. Dengan besarnya antusias masyarakat yang meramaikan acara, seakan membuat  hangat malam yang sempat diguyur hujan sore itu.

Busro Muqoddas, selaku perwakilan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengatakan, “Koruptor iku genderuo seng paling ngedeni”. Dalam artian, Koruptor itu adalah Buto Ijo yang paling menakutkan. “Genderuo layaknya kanker yang dapat menggerogoti dari rambut sampai telapak kaki”, imbuhnya mencoba menjelaskan bahwa korupsi adalah setan yang paling membahayakan yang menjadi salah satu problem bangsa saat ini. Tak terlewatkan, Busro mengingatkan bahwa dalam proses penegakan hukum, ada hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah akhlak, moral, etika. Dengan menguasai ketiga akhlak tersebut seseorang kiranya akan berfikir dua kali untuk melakukan beberapa tindakan penyimpangan. Pasalnya ini adalah pondasi seseorang untuk melakukan kejujuran. Sementara itu, salah satu upaya untuk menegakkan hukum, harus dibarengi akhlak yang baik bagi pihak-pihak terkait.

Sementara itu, Busro beserta pembicara yang hadir coba mengulas masalah bangsa dengan upaya penegakan hukum yang lebih baik. “Membutuhkan kekompakan dari semua kalangan masyarakat, bukan dari bareskrim, KPK, dan lain sebagainya.”, kata Busro mencoba mengajak kalangan masyarakat bersama-sama membrantas penyakit korupsi.

“Saya harap KPK bubar”, Ujar Cak Nun mengejutkan semua orang yang hadir. “Akan tetapi, sebelum KPK dibubarkan, moralitas bangsa harus sudah baik, orang-orang yang korup harus di hilangkan. Dengan demikian KPK tak perlu bekerja lagi untuk mengatasi masalah-masalah korupsi.” tambahnya.

            “Sebagai manusia yang berbudaya, jangan sampai kita mengatakan korupsi adalah salah satu bentuk budaya.” kata Komjen Polri. “Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, lantas kita harus tangani dengan luar biasa juga.” tegas Komjen Polri mengatakan. “Jangan membudayakan korupsi.” menambahkan.

Kapolri mengatakan, “Kenapa tertib harus diawasi?” Menjelaskan salah satu hasil temuannya, “Kita memasang kamera di bunderan HI, banyak diantaranya tertangkap kamera melanggar lalu lintas tanpa sepengawasan kepolisian lalu lintas secara langsung. Ketika di dakwa, tidak merasa, tidak mengaku para pelanggar lalu lintas ini.” Dari salah satu hasil pengamatan kepolisian, tingkah laku penggendara dijalanan mengatakan, hampir sebagian besar pengguna jalan melanggar lalu lintas jika tidak ada polisi yang berjaga. Ketika polisi bertindak (menilang), citra Polisi seakan buruk di mata masyarakat, “Jika polisi maupun pihak yang di tilang mencoba ‘berdamai’ mereka berdua telah melanggar aturan dan layak menerima hukuman. Bukan hanya polisi yang menilang, akan tetapi orang yang ditilang jika melanggar ikut dikenakan hukuman.” menjelaskan hukum yang berlaku.
Jika dibayangkan polisi dicabut dari jalan-jalan, terutama lalu lintas. “Apakah masyarakat benar-benar merasa aman? Coba kita lihat, saat lampu menyala kuning sebelum merah, orang-orang bukannya mengurangi kecepatan, akan tetapi, ketika polisi yang bertugas tidak ada, main tancep gas aja tuh orang.” Kapolri bercerita hasil temuannya di jalanan. “Mari kita tanggulangi problem masyarakat semacam ini. Perubahan dibuat dari kita sendiri.” imbuhnya.

            Bukan bagian dari rencana panitia, dialog yang diselenggarakan menginjak pukul 01.00 WIB dini hari. Akan tetapi meski hingga larut, antusias para pembicara dengan masyarakat masih terasa hangat dalam cengkrama dialog terbuka malam itu. Dari pertemuan malam itu, beberapa hasil dialog mengarah pada kesepakatan untuk menyinergikan penegakkan hukum di Indonesia. Bahwa, beberapa masalah yang ada di masyarakat adalah tanggung jawab bersama.

“Hanya di Indonesia semua bisa di rajut”, ujar Cak Nun mencoba merangkul semua orang yang telah hadir pada khususnya dalam langkah awal penanggulangan segala masalah yang dialami bangsa saat ini. Dengan lunturnya nilai-nilai luhur budaya yang menjamur, hasil akhir dialog mengajak semua kalangan masyarakat, sepakat untuk memperbaiki moralitas bangsa yang rusak demi masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, masalah yang mendera bangsa saat ini harus dibarengi dengan kekompakan menanggulanginya, dan dapat diatasi bersama demi kemajuan bangsa Indonesia kedepannya.

Minggu, 04 Desember 2011

Perjalanan Hidup Kahlil Gibran

Perjalanan Hidup Kahlil Gibran
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Saat mendengar nama Kahlil Gibran, sebagian besar orang kerap kali memberikan statment sosok yang erat kaitanya dengan puisi-cinta. Dibalik itu, dalam perjalanan hidupnya, Gibran hidup dalam dua alam imajinasi, pikirannya hidup dalam alam khayal, hatinya selalu mendayung dalam bentangan samudera kasih, cinta dan keindahan. Sedang jasadnya hidup dalam alam nyata, dimana kehidupan tidak kerap bersahabat dengan kaum pencinta.[1] Kendati demikian, ia hidup dalam alam nyata yang merasakan apa arti pedih, derita, nestapa, kelaparan, dan lain sebagainya yang kemudian suasana emosional ini mengilhami karya agungnya.

            Dari karya-karya agungnya, sosok seniman ini telah melegenda dari generasi ke generasi serta dikenal oleh banyak kalangan dari segala penjuru dunia sampai saat ini. Bagaimana tidak, karya-karyanya begitu menyentuh pembaca dalam imajinasi maupun perasaan pembaca karyanya. Meskipun ia hidup berabad-abad yang lalu, bukan tidak mungkin karya-karyanya hidup dalam imajinasi generasi kontemporer. Alhasil karya agungnya banyak diterjemahkan dalam berpuluh-puluh bahasa. Hingga pada akhir perjalanan karya yang telah diciptakannya telah mengilhami para politisi, agamawan, sampai kaum feminis.

            Sosok kelahiran Lebanon, 6 Januari 1883, memiliki nama asli Jubran Khalil Jubran yang akrab dengan lidah barat dengan Gibran Kahlil Gibran. Dalam perjalanan hidupnya ia telah merengkuh dua peradapan. Dari daratan yang eksotis, dengan hutan padang, hingga daratan yang lebat dengan hutan beton, hingga pada akhir perjalanannya ia meninggal di New York, Amerika Serikat, 10 April 1931. Jasadnya telah disemayamkan di tempat kelahirannya (Lebanon).

            Melihat perjalanan hidupnya dimasa silam, ia selalu berpindah ketempat satu dengan tempat yang lainnya. Dimulai dari mudanya, ia telah beranjak meninggalkan negeri yang penuh dengan keindahan alam ke Boston, Amerika Serikat tahun 1894 bersama dengan Ibu dan Adik perempuannya. Saat itu Gibran masih berumur sepuluh tahun. Tak lama setelah kepindahannya, ia kembali ke Lebanon untuk belajar di Madrasah Al Hikmah, 1896-1901. Dari sekolah inilah Gibran mulai belajar filsafat yang memberinya pengaruh dalam membuka tirai gaib kehidupan. Dengan ketajaman akalnya ia mampu menjadi filsuf yang mendengarkan irama jiwa, yang kemudian mensyairkannya dalam karya-karyanya.

            Sesaat setelah ia menyelesaikan studinya, Gibran kembali ke Amerika. Sekembalinya di sana, ia bertemu dengan Mary Haskell yang kemudian mengisi bagian dari hidupnya. Wanita ini juga telah berjasa besar mengangkat nama Gibran sebagai seorang penyair yang terkenal. Dengan keinginan dan tekat yang kuat menekuni dunia seni pada akhirnya Gibran memutuskan untuk hijrah menuju Paris guna menekuni dunia seni yang digelutinya lebih mendalam. Lagi-lagi ia bertemu dengan wanita yang menggetarkan jiwanya. Sosok wanita ini bernama Micheline. Hati Gibran yang diluap cinta, ternyata cukup luas untuk menyimpan cinta Mary Haskell dan Micheline sekaligus.

            Dalam masa pendalaman seni di Paris. Gibran membawa keyakinan, bahwa tuhan adalah maha pencipta keindahan. Baginya pohon, gunung, laut, bulan dan bintang ciptaan Tuhan jauh lebih indah dan rumit dari pada teknologi buatan manusia. Berdampingan dengan itu, setelah merasa matang mendalami bidang seni di Paris, ia kembali ke New York. Sejak saat itu Gibran mulai aktif menulis termasuk menulis beberapa artikel di berbagai media masa tahun 1912. Tidak main-main, tulisannya telah buming di berbagai penjuru dunia. Tidak terlewatkan, kritikus vocal sastra Arab terkemuka seperti May Ziadah tercengang ketika membaca beberapa karya Gibran yang melepaskan rentang jarak antara Amerika dan Mesir. Hingga pada perjalanannya perasaan cinta juga tumbuh diantara keduanya.
Hubungan Gibran dengan May Ziadah tercurahkan melalui karya dan beberapa surat-surat.[2] Berseberangan dengan itu, hal ini seakan sudah mendekatkan jarak antara mereka berdua. Di sepanjang kisahnya bersama dengan May Ziadah, Gibran tidak pernah bertatap muka langsung, ia membiarkan rasa cintanya tumbuh subur dalam hatinya. Kendati begitu, mereka seakan tidak ada keinginan untuk mendekatkan jarak selama 20 tahun, hingga pada akhirnya Gibran meninggal 10 Januari 1931 pada usia yang menginjak 48 tahun.



[1] Kahlil Gibran, Jiwa-Jiwa Pemberontak, Navila, Yogyakarta 2004, h. vii.
[2] Sebagian surat-surat cinta Gibran telah di abadikan dalam buku berjudul Kahlil Gibran, falling in Love…?, KLEIN PRESS, Yogyakarta, 2008.