Selasa, 20 November 2012

Mengenal "Kelas Menengah"


Mengenal "Kelas Menengah"
Seperti yang dapat diketahui bersama, istilah 'kelas menengah' baik di Indonesia maupun di beberapa negara belahan bumi utara (Amerika-Eropa) memiliki bermacam-macam karakteristik dalam ideologi maupun arah gerakan yang seragam mengumandangkan revolusi. Hal ini tergambarkan dari beberapa organisasi maupun perseorangan yang menginginkan adanya perbaikan atas kesalahan masa lampau. Sebut saja LSM, organisasi masyarakat hingga perkumpulan kaum intelektual adalah wujud dari kelas menengah. Semua dengan pola sama, yakni perubahan kearah yang lebih baik.
Bersinggungan dengan itu, problem kelas menengah sering memperoleh perhatian luas. Seperti di Indonesia misalnya, melalui sorotan beberapa media masa kelas menengah ditempatkan sebagai agen perubahan yang ambigu. Yang mana, peran kelas menengah mempunyai fokus kepentingan yang hanya sesuai ideologi yang di usungnya. Bentuk wujud yang ada dalam lapangan misalnya, membela kaum buruh atau kaum tertindas dari kemunafikan yang ada di dalam negara hingga gerakan ini kemudian mengacu pada kritikan atas kebijakan pemerintahan yang dianggap tak sesuai dengan tesis mereka. Disamping sisi, yang digambarkan sebagai kelas menengah masih mengulang romantisme kelas menengah pada jaman revolusi industri di Eropa. Kelas menengah dianggap sebagai agen perubahan yang berpihak pada kelas bawah yang mencoba mengangkat derajat kaum yang tereksploitasi baik dalam kebijakan maupun secara hak asasi.
Karl Marx & Max Weber
Mengenai kelas menengah, perdebatan dua pemikiran besar dari Marx maupun Weber hingga dewasa ini masih menjadi rujukan hangat di tengah masyarakat luas. Berpondasi pada pemikiran Marx mengenai hubungan yang ada dalam produksi industrialis, secara tak langsung pemikirannya merujuk pada pembeda kelas, yang saling bertentangan, yakni antara borjuis atau kaum pemilik modal dengan kaum buruh atau proletar. Perkembangan selanjutnya—setelah satu abad Marx—kelas menengah membesar kuat dan terorganisir. Pada awal abad 20, para pemikir di Eropa telah banyak memunculkan teoritisi yang disebut ‘Marxisme’ yang pembahasannya kaum ini condong pada studi kasus kelas menengah baru. Hingga saat ini, kelas menengah dapat dibedakan mengenai klasifikasi kelas pekerja. Selanjutnya pemikiran yang juga berpengaruh luas adalah pemikiran Weber. Bagi Weber, kelas menengah tidak harus diukur melalui cara kepemilikan faktor produksi. Weber menggunakan pendekatan yang mencoba menggabungan serta membedakan antara pendapatan, pendidikan, status sosial atau semua hal yang dapat dikuantifikasi. Gampangnya, penentuan kelas menengah dapat dipisahkan sesuai perbedaan pendapatan serta jabatan dalam kerja. Kedua pemikiran ini telah mempengaruhi perdebatan tradisi akademis global. Bagi yang belajar ilmu sosial dengan tradisi Positivisme, pemikiran Weber cenderung digunakan guna membedah problem-problem sosial dalam kerja. Sedangkan bagi yang belajar ilmu sosial dengan tradisi ekonomi politik yang kuat, maka pemikiran Marx cenderung menjadi rujukan utama hingga pada perjalanannya melahirkan karya yang mencoba mengembangkan karya Marx (Marxisme).
Perdebatan ini masih berlanjut hingga saat ini di Indonesia. Kelas menengah tidak hanya bisa dilihat kepemilikan modal maupun alat produksi yang digambarkan Marx melainkan muncul kelas baru yang disebut kalangan marxis sebagai kalangan kelas menengah baru. Perlu ditekankan, kelas menengah baru kali ini telah diselimuti pandang ideologi yang menyangkut selera atau karakteristik yang sifatnya kultural. Hal ini tergambarkan pada tabiat yang seragam, mulai cara berpikir hingga ideologi yang di usung saat menanggapi kebijakan-kebijakan yang ada baik di lingkungan maupun di dalam negeri.
Kasus kelas menengah Indonesia telah menunjuk kearah statistik pendapatan, dimana modal utama gerakan ini berupaya mengangkat kesejahteraan atau dengan kata lain memperbaiki faktor ekonomi dari ideologinya. Bagi beberapa pengamat di Indonesia hal ini bukan lah bentuk kelas menengah, melainkan gerakan sosial yang memiliki suatu pandangan tersendiri akan problema yang dihadapi bangsa. Seperti yang telah dipaparkan Kuntowijoyo menanggapi realita yang ada era 90an, istilah kelas menengah dirasa kurang sesuai dalam konteks Indonesia dan pada akhirnya Kuntowijoyo mengistilahkan gerakan ini dilakukan oleh ‘golongan menengah’. Istilah kelas menengah tak lagi digunakan dalam kajiannya menanggapi sejarah, oleh karena menghindari tuduhan gerakan kiri (radikal) serta praduga dari pemerintah (rezim yang berkuasa) guna menghindari tuduhan. Pada akhirnya pendapat yang disakralkan adalah ‘bukan sebuah kelas’.

Minggu, 18 November 2012

Populasi dan Problem Perkotaan


Populasi dan Problem Perkotaan
Oleh: Koko Wijayanto[1]
Do you know?
Para perencana dan pembuat kebijakan dari kota-kota di negara berkembang saat ini menghadapi tugas besar. Dalam artian tugas besar yang ada dipundak para pembuat kebijakan seiring dengan sejalannya pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan di dunia pada tingkat yang fenomenal. Tepatnya, di beberapa kota besar, hampir seperempat juta orang (populasi) bertambah setiap tahunnya. Memang suatu bentuk yang luar biasa, yang mana kebiasaan ini membawa para pakar berupaya untuk memperbaiki kondisi kekacauan dimasa kini. Disamping sisi, kota-kota yang sudah lebih besar di masa lalu terus berkembang tanpa batasan yang jelas. Ini merupakan tantangan besar untuk mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan pembangunan perkotaan dan penyediaan jasa.

Beberapa bukti mengarah pada perencana kota dan kebijakan tata kelola kota yang telah gagal menghadapi tantangan ini. Sebagian besar warga (masyarakat) dibiarkan tanpa tempat tinggal yang memadai dan tanpa akses air bersih atau sanitasi, sementara pola pertumbuhan perkotaan telah menyebabkan ketidak efektifan jalannya ekonomi, hingga degradasi lingkungan dan beberapa masalah muncul melanda manusia karna lingkungan yang dapat dikatakan kurang mumpuni dalam hal kesehatan.

Selama beberapa tahun belakangan, perencanaan dan kebijakan pembangunan kota telah membuat upaya untuk membawa situasi kali ini di bawah kendali, yang mana hal ini cenderung tak bisa diabaikan dalam tata kelola kota yang tak bisa diremehkan. Dengan beberapa pengecualian, beberapa upaya aktor-aktor yang bermain didalamnya, terbukti sama sekali tidak dapat mengatasi problem tersebut.

Kali ini kajian difokuskan pada upaya-upaya yang telah dibuat guna merencanakan dan mengelola kota yang berkembang di dunia, dan berusaha untuk menarik pelajaran dari pengalaman di masa lalu sebagai basis untuk mengelola kota-kota yang semakin cepat perkembangannya. Dalam tulisan awal, dapat dilihat skala yang menantang perkotaan, dan implikasinya bagi para perencana kota dan pembuat kebijakan kota. Laporan yang sama dari beberapa penelitian merujuk pada kota-kota di negara berkembang, 40-50 persen penduduk tinggal di daerah kumuh. Kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan pajak tempat tinggal sementara (perumahan) dipandang tidak terlalu memuaskan.

Banyak lagi permasalahan mungkin akan dihadapi oleh kota-kota yang sedang berkembang. Seperti halnya yang terjadi di kota Jakarta. Jakarta merupakan tipikal kota besar dengan pertumbuhan sangat cepat di Asia. Perkembangannya dimulai pada zaman kolonial belanda sekian ratus tahun yang lalu. Hal ini bermula ketika belanda menjadikan Jakarta sebagai pusat kapitalnya atau yang lebih akrab kita sebut Batavia. Pemerintah kolonial belanda membangun pelabuhan di pesisir utara pulau jawa untuk melakukan transaksi ekonomi. Disana juga dibangun pedesaan yang mana mereka gunakan untuk bersinggah para aktor ekonomi Batavia sekaligus berguna transaksi ekonomi mereka bisa terus berjalan dengan mudah.
Setelah kemerdekaan, populasi di kota Jakarta mencapai 600.000 jiwa. 40 tahun kemudian angka ini berkembangbiak menjadi 13 kali lipat, yakni 7,8 juta jiwa. Pertambahan angka tersebut tidak berhenti sampai disitu saja, tetapi terus berkembang hingga saat ini. akan tetapi, pertumbuhan jumlah penduduk yang luar biasa ini tidak diimbangin dengan infrstruktur yang cukup. Populasi yang terus bertambah ini biasanya tinggal di informal settlement/perkampungan kumuh yang terdapat di dalam dan sekitaran kota Jakarta.

Secara general, mereka masih kekurangan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Meskipun, program pengembangan dan penyejahteraan perkampungan seperti itu telah sering digiatkan di Jakarta. Contoh misalnya, kebutuhan air bersih dan sanitasi. Upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini di 10 tahun pertama hanya mampu melayani 14% populasi dengan air pipa yang bersih. 52% menggunakan pompa air sendiri, 32% bergantung pada penjual air keliling, dan sisanya 2% hanya mengandalkan air sungai dan kanal yang sudah tercemar. Pencemaran ini terjadi karena sebagian besar kotoran/human waste masuk ke sungai dan kanal tersebut, yang mana ini menjadi pertanda bahwa sistem pembuangan di Jakarta juga bermasalah.

Selain masalah sanitasi dan sistem pembuangan, masalah transportasi juga tumbuh dan menjamur di Jakarta. Angka pemilikan kendaraan pribadi yang bertambah 4 kali lipat dalam 15 tahun (1970-1985) bersaing ketat dengan angka transporasi umum seperti bus. Hal ini menyebabkan kemacetan parah karena jalan yang semakin sesak. Banyaknya alat transportasi umum maupun pribadi yang beroperasi juga ikut menyumbang polusi udara di Jakarta. Kini dari beberapa kajian serta bukti nyata tentang lingkungan kota besar, dapat disadari bersama bahwa masalah ini bukanlah beban pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama untuk mengelola pembanguna dengan bijak. Bersanding dengan itu, para pakar serta para pembuat kebijakan perlu secara continued mengarahkan pembangunan di masa mendatang demi tercapainya kota yang nyaman serta di idamkan.

[1]  Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.


Jumat, 16 November 2012

Recognize: Pencegahan Bencana dan Manajemen


Recognize: Pencegahan dan Manajemen Bencana
Oleh: Koko Wijayanto[1]

Catatan ini berguna dalam mempermudah para peneliti, pemerintah dan para agen mandiri pada suatu ikhtisar bencana. Bencana telah menjadi pokok riset dan suatu sumber yang berhubungan dengan  akademisi, pemerintah dan para agen mandiri. Dalam jenis bencana catatan ini dikumpulkan dari beberapa sumber seperti artikel umum teknis, Internet Lokasi Web, dan laporan internal.
Jenis Bencana, Definisi, Resiko, dan peringanan dapat ditinjau. Bencana digolongkan ke dalam bencana alam, bencana buatan tangan/manusia, dan bencana bastar. Bencana alam adalah bencana yang ditimbulkan oleh alam. Bencana buatan tangan/manusia dapat digolongkan ke dalam bencana teknologi, kecelakaan transportasi, kegagalan tempat publik, dan kegagalan produksi. Bencana buatan tangan/manusia secara alami kadang-kadang mendorong kearah bencana berikutnya. Dari semua hal diatas, dapat diasumsikan bahwa bencana yang muncul merupakan peristiwa histeris. Dalam artian, bencana adalah suatu kejadian yang dapat dialami bagi sebagian orang pada umumnya. Perlu diketahui bersama, sifat bencana tak selalu dapat di prediksi kedatangannya maupun dianalisa secara konkrit.

Bencana mempunyai karakteristik berbeda dan dampak; bagaimanapun, bencana mempunyai suatu unsur umum, yang mana adalah kekejaman mereka. Bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh kekuatan alam. Bencana buatan tangan/manusia bencana yang  diakibatkan oleh keputusan manusia. Bencana bastar bencana yang diakibatkan oleh kedua-duanya yang alami dan penyebab buatan tangan/manusia. Bencana yang berikut bencana yang diakibatkan oleh bencana buatan tangan/manusia atau alam. Banyak hal yang dipandang penting dalam hal penanggulangan bencana, sebagai catatan: mulai dari jenis, definisi, resiko, dan peringanan terkait dengan bencana.
Bencana diatur ke dalam jenis bencana sub-disasters, dan peristiwa dalam wujud pohon bencana. Suatu algoritma dapat ditulis pemanfaatan pohon bencana ini. Algoritma dapat digunakan untuk tujuan-tujuan latihan untuk mencegah atau merespon bencana. Seperti yang dapat diketahui bersama, berbagai pusat studi dan instansi pengamat bencana, yang mana hal ini mengarah kepada manajemen bencana melalui pencegahan, persiapan, mitigasi, respon dan pemulihan pasca bencana, mencoba mendefinisak arti bencana (baik swasta maupun instansi pemerintahan). Salah satunya dari Asian Disaster Reduction Center. Menurut Asian Disaster Reduction Center (2003), bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai material dan lingkungan (alam) dimana dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada. Lebih lanjut, menurut Parker (1992), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, individu maupun lingkungan untuk memberikan antusiasme yang bersifat luas.
Disamping membahas mengenai definisi bencana, segelintir para ahli sekaligus  pusat studi mencoba memberikan batasan atau kriteria kejadian seperti penggolongan bencana. Di dalam opini CRED (The Center for Research on the Epidemology of Disaster), beberapa kejadian yang dapat dikategorikan sebagai bencana seperti: Korban jiwa (tewas) yang mencapai 10 orang atau lebih; termasuk jumlah orang yang terkena imbas mencapai 100 orang; kejadian yang memerlukan bantuan internasional; dan pengumuman bahwa negara sedang dalam keadaan darurat.
Berkaitan dengan data terkait tipe bencana, sebagian besar orang maupun instansi serta pusat studi sepakat mengklasifikasikan beberapa penyebab bencana dalam tiga kategori utama, yakni: natural (alami); man-made (ulah manusia); hybrid (campuran bencana alam dengan bencana oleh karna manusia). Bencana natural (alam) adalah suatu bencana yang disebabkan oleh kekuatan alam seperti gunung meletus, erupsi, tsunami, gempa bumi dll, dimana manusia tidak dapat melakukan apapun guna mengontrolnya. Bencana alam seperti ini sering disebut Acts of God.
Tipe bencana kedua, man-made (ulah manusia), ialah bencana yang timbul akibat tindakan atau ulah manusia seperti halnya kecelakaan transportasi, peperangan, efek reaksi kimia (polusi, gas beracun, radiasi dll). Pengamat bencana berpendapat mengenai bencana ini dengan istilah socio-technical disaster yang memiliki arti bencana yang terjadi akibat kesalahan teknik atau sistem yang dibuat oleh manusia, yang kemudian memiliki dampak luas terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, hybrid disaster adalah bencana yang berasal dari bencana alam dan juga disebabkan oleh ulah manusia. Misalnya: penebangan liar hutan yang menyebabkan tanah longsor dan banjir.

[1] Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.