Sabtu, 06 April 2013

Kota Kreatif & Masyarakat Kreatif


Kota Kreatif & Masyarakat Kreatif
Oleh: Koko Wijayanto

            Dewasa ini tentu kita akrab dengan istilah “kreatif”. Dapat didefinisikan, menurut kamus besar bahasa Indonesia kreatif memiliki ialah daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; mengandung daya cipta. Sama dengan itu, kreatif juga sangat akrab dengan pekerjaan yang menghendaki kecerdasan dan imajinasi.[1]

Seperti yang dapat diketahui bersama, kota Yogyakarta adalah salah satu kota yang dipandang kebanyakan orang sebagai kumpulan orang-orang kreatif. Hingga ada slogan atau julukan kota Yogyakarta ini sebagai pusat kota kreatif. Bersinggungan dengan itu, kota Yogyakarta―yang akrab di dengar dengan sebutan “Jogja”―telah terbukti memberi teladan. Dalam artian, telah banyak seniman, musisi, hingga sang inovasi dagang dalam mengapresiasikan kreasinya secara kreatif lahir atau telah dibesarkan di kota tempat Hamengkubuono X meminpin sebagai raja Ngayogyakarta―sekaligus menjabat sebagai gubernur D.I. Yogyakarta. Hal ini terbukti telah terwujud dari banyaknya karya mulai lukisan, musik, sastra hingga bentuk-bentuk kerajinan yang dibuat oleh masyarakat setempat.


Seiring dengan berjalannya waktu, kebiasaan kreatif ini pun muncul pada salah satu daerah di Jogja yang kini dikenal masyarakat luas dengan nama Kampoeng Cyber (baca: Kampung Cyber). Kampung ini terletak di Kelurahan Patehan RT 36, Yogyakarta. Warga setempat menamakan kampungnya menjadi Cyber Village RT 36 Taman.  Awal mula munculnya kampung ini bermula pada gagasan pemerintah terkait degan wacana program internet masuk desa. Bersinggungan dengan itu, warga secara bersama dalam kinerja gotong-royongnya mulai mengabdikan kampungnya menjadi salah satu sudut kota yang mengusung ide mencerdaskan masyarakat agar melek teknologi informasi.[2] Disamping sisi, hal ini berguna untuk siapa saja yang tinggal di kampung setempat. Adapun wujud kreatifitasnya ialah tak melulu bergantung dengan uluran tangan dari pemerintah dalam membangun suatu wilayah (baca: daerah).


Hingga kini, semangat kebersamaaan antar warga di RT 36, Taman, Yogyakarta ini pun masih bisa dirasakan oleh warga setempat maupun pengunjung yang dapat―juga―menikmati internet gratis yang ada di Cyber Village. Hingga kemudian, kampung ini pun menjadi salah satu target wisata bagi para wisatawan daerah hingga luar negeri. Untuk menjalin kesinambungan ini ketua RT 36 menerangkan:
"Kehidupan sosial di daerah kami identik dengan kebersamaan dan semangat bekerja sama. Desa kami dianggap sebagai desa dengan tingkat ekonomi rendah. Sehingga kami, pemuda setempat, dipanggil untuk meningkatkan pengetahuan penduduk lokal dengan mengajarkan mereka pentingnya teknologi informasi dalam hal menghubungkan jaringan internet dari rumah masing-masing kepada yang lain," (okezone, Rabu, 10 Maret 2010)
Terlebih, disudut sebuah pos kampling di kampung ini pun telah menjadi sasaran diadakannya fasilitas komputer PC dan laptop yang dapat dimanfaatkan secara umum untuk mengakses jaringan internet. Pun hal ini telah dijadikan tanggung jawab bersama dalam pengelolaan dan perawatannya.

Meski Kampung Cyber ini belum berjalan satu dekade lamanya, agaknya dapat disadari bahwa Kampung Cyber adalah wujud kreatifitas masyarakat dalam hal mengembangkan desanya agar tidak tertinggal oleh berbagai informasi yang dapat muncul berbagai media terutama internet. Terkait dengan adanya internet di lingkungan kampung, warga pun secara otomatis merasa dituntut untuk bersama-sama mengembangkan wawasannya bersanding dengan teknologi informasi yang semakin berkembang. Baik kondisi global hingga berita up to date kini dapat diketahui secara mudah dengan hadirnya jaringan internet.

Hasil jerih payah masyarakat setempat pun terbayar oleh wujud kreatifitasnya. Hal ini berbuah hasil yang semakin dikukuhkan Heri (salah satu warga kampung cyber), dalam pemaparannya:
"Program ini membuat interaksi antara penduduk lokal melalui media internet meningkat. Ekonomi mereka juga naik, terutama dalam penjualan kerajinan secara online. Kebutuhan akan informasi dan pengetahuan teknologi juga ditransfer cukup baik, sehingga kehidupan sosial sekitarnya tumbuh lebih subur," (Heri).
            Kini dapat disadari bahwa kreatifitas adalah salah satu pendobrak serius yang dapat memberikan efek positif dari sisi kemajuan teknologi informasi begitu pula menunjang ekonomi lokal untuk lebih kreatif. Tambah pula,
"Kedepan, kami akan lebih mengintegrasikan semua potensi yang ada di kampung ini baik bidang usaha, sosial, seni wisata," tegas ujar ketua RT.[3]
Menelisik lebih dalam menggunakan kacamata sosiologis dalam melihat realitas dilapangan, agaknya bisa meminjam sudut pandang Etnometodologi Harold Garfinkel dalam mempertajam kajian terkait ‘aspek-aspek realitas yang diterima begitu saja’[4]. Garfinkel menyatakan dalam bukunya:
Rasional ilmiah tak akan menjangkau stabilitas karakter yang ideal sekitarnya ia hanya dibentuk dari kerutinan sehari-hari. Setiap usaha untuk membuat karakteristik ini stabil atau memaksakan ketaatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan memperbesar karakter yang tidak berarti ini dari lingkungan perilaku seseorang, dan mengandalkan ciri-ciri yang rancu di dalam sistem interaksi (Garfinkel, 1967: 283).

            Lebih jelasnya, Garfinkel mencoba mempelajari dunia sosial yang juga menyagsikan dunia itu.[5] Sebagaimana yang akan dikaji lebih dalam Etnometodologi tak lebih hanya sekedar teori perilaku yang abstrak. Itu merupakan studi empiris mengenai bagaimana orang menangkap pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Adapun poin yang ditekankan dalam sudut pandang Garfinkel ialah penekanan pada interaksi tatap muka (face to face) kesamaan (commonalities), termasuk inti dalam analisa ialah pentingnya bahasa guna menjelaskan realitas empiris dari manusia yang sedang diteliti dan menyadari aspek-aspek masyarakat yang subjektif dan obyektif.[6]

            Prinsip yang sama mengenai penggelapan keraguan (Bracketing doubt) ini terjadi dalam interaksi sehari-hari antara kita dengan orang lain. Kita sehari-hari tidak tanggap kepada masalah benar atau tidaknya suatu yang kita sukai, cara kerja sistem moneter, atau realitas lembaga sosial kita.[7] Proses ini membuat mereka―masyarakat kampung cyber yang dipandang kreatif―mampu mengamati bagaimana orang membentuk realitas sehari-hari.

            Dari serangkaian argumen yang telah dipaparkan Garfinkel, kini ada beberapa hikmah yang dapat dipetik untuk melihat masyarakat kampung cyber. Diantaranya ialah masyarakat cyber tidaklah acuh dalam menanggapi isu-isu global terkait dengan hadirnya media internet yang mana dalam media tersebut telah menghadirkan berbagai informasi yang dibutuhkan untuk berkembang. Di lain hal, masyarakat cyber juga menyaring informasi terkait dengan kebenaran, dalam hal ini ialah mengenai informasi yang di usung oleh internet, yang mana akhirnya masyarakat kampung cyber berkembang dengan melihat hal-hal yang dianggapnya benar dalam media internet tersebut. Begitu pula interaksi antar masyarakat tak melulu dijalankan dengan teknologi, melainkan masih diangkatnya hubungan yang dianggap semestinya untuk sosialisasi (dengan bertatap muka dalam hal komunikasi). Berdekatan dengan itu, pada akhirnya masyarakat kampung cyber pun telah memiliki karakter yang khas terkait kesamaan prinsip dalam kreatifitasnya terkait dengan internet.

            Setelah menelisik mendalam terkait masyarakat kampung cyber, kini dapat diambil kesimpulan bahwa di kota yang tipikal masyarakatnya beragam karakter telah memunculkan perbedaan yang mencolok oleh karena berbagai corak masyarakat. Dengan memanfaatkan kreatifitasnya, hal yang diwujudkan masyarakat RT 36 Taman, Yogyakarta ialah mengembangkan kampungnya ke arah global information. Dengan demikian pun masyarakat kampung cyber bukanlah masyarakat yang ketinggalan informasi terkait makin mudahnya mengakses informasi melalui jaringan internet.


Daftar Pustaka
Rahardi, R. Kunjana (2006). Paragraf Jurnalistik. Yogyakarta: Santusa.
Poloma, M. Margaret (2010). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Hoogvelt, M.M. Anke (1985). Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Rajawali Pers.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Artikel di www.okezone.com (10 Maret 2012). Kampung Cyber ada di Yogyakarta.
Artikel di www.tribunnews.com (19 Agustus 2010). Warga Kampung Yogyakarta Melek Internet.


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, h. 529.
[2] Artikel yang termuat di www.okezone.com, Rabu, 10 Maret 2012, berjudul Kampung Cyber ada di Yogyakarta.
[3] Artikel yang dimuat di www.tribunnews .com, Kamis, 19 Agustus 2010, berjudul  Warga Kampung Yogyakarta Melek Internet.
[4] Dalam hal ini muatan tulisan ingin difokuskan pada sudut pandang Garfikel terkait dengan realitas yang diterima begitu saja. Beberapa realitas yang ada dalam masyarakat kampong cyber ialah munculnya fenomena jaringan internet yang mana akhirnya membawa pengaruh besar melalui media-media yang ada didalamnya, seperti media masa hingga kolom-kolom yang memuat banyak informasi.
[5] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers, 2010, h. 277.
[6] Ibid., h. 277-278.
[7] Ibid., h. 280.