Selasa, 01 November 2011

Munculnya Tindak Kriminal di Masyarakat Kelas Bawah

Munculnya Tindak Kriminal di Masyarakat Kelas Bawah
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada


Seperti yang dapat diketahui bersama, beberapa faktor penyebab tindak kriminal ataupun kejahatan dalam masyarakat adalah kemiskinan. Berdampingaan dengan itu, kemiskinan dapat diartikan dengan keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Diantaranya, keterbatasan memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), juga pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh tidak dimilikinya alat pemenuh kebutuhan dasar seperti uang. Dengan demikian, dampak yang timbul akan bermula pada keterbatasan mengakses pendidikan. Dalam hal yang sama, sulitnya mencari pekerjaan dapat menjadi pendukung lain dalam kemiskinan.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan tindakan kriminal ataupun kejahatan, namun perlu disadari, faktor kemiskinanlah yang menjadi modal awal terjadinya tuntutan kebutuhan hidup. Pasalnya dengan hidup dalam keterbatasaan maupun kekurangan akan mempersulit seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dari segi kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), juga pendidikan dan kesehatan.

Selain tidak mampunya mencapai kesejahteranan, pendidikan adalah salah satu modal sosial seseorang dalam pencapaian kesejahteraan. Dimana dengan pendidikan, syarat pekerjaan dapat terpenuhi. Dengan demikian seseorang yang mempunyai penghasilan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari segi ekonomis.



Perlu diketahui, beberapa motif penyebab tindak kejahatan adalah kondisi yang serba kekurangan. Berdekatan dengan itu, motivasi ingin memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya menjadi faktor penyebab tindak kriminal. Seperti halnya, makhluk hidup dalam kehidupannya bermodalkan awal supplement makanan untuk menghasilkan energi dalam beraktifitas.

Setelah mengetahui gejala dan problm yang dihasilkan oleh desakan beberapa kebutuhan dasar khususnya desakan ekonomi, yang pada akhirnya akan berdampak pada konformitas. Sebelum menelisik lebih dalam fenomena yang terjadi, kajian Jean Baudrillard tentang masyarakat konsumsi kiranya dapat membantu dalam proses analisa realita yang ada. Meminjam istilah “distingsi” dari Baudrillard, bahwa gejala yang muncul dalam masyarakat adalah sebuah alternatif dimana seseorang secara tidak langsung baik sadar maupun tidak sadar dituntut memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, gejala yang timbulkan atas motif seseorang untuk memenuhi kebutuhan sosial adalah dengan membedakan jarak sosial. Dengan demikian pilihan selera yang menjadi motif dari kebutuhan hidup dapat terjabarkan.


Dengan kata lain, konformitas bukanlah dipandang semata-mata penyamaan status maupun penyeragaman yang disadari kelompok (tiap individu yang disejajarkan dengan yang lainnya). Berdampingan dengan itu, hal ini merupakan motivasi seseorang karena memiliki kode atau status yang sama secara umum. Atas dasar demikian, kesamaan dipandang dapat mencukupi beberapa kepentingan dalam memenuhi kebutuhannya. Bersebrangan dengan itu, motif daya saing tentu berawal dari mengetahui kelemahan yang dimiliki saingannya. Dilain sisi, hal ini muncul oleh karena seseorang memiliki kawasan bawah sadar logika sosial.[1] Dengan demikian, secara instrumentally rational[2] membawa mereka pada cara-cara dimana kebutuhan hidup dapat di penuhi. Bukan tidak mungkin, gejala yang diakibatkan adalah konflik pertentangan dan persaingan.

Dari munculnya tindakan pintas atau bentuk tindakan frontal yang dapat dilakukan oleh seseorang, munculnya aktor baru dalam lapangan dapat dipengaruhi oleh tindakan aktor pertama. Dalam artian (memakai istilah Anthony Giddens), “dualitas struktur” pesaing baru dalam kekuasaan adalah dengan meniru (memberikan kemampuan bagi perilaku) cara atau upaya yang dilakukan.[3] Hingga pada perjalanannya, timbul kesenjangan sosial dalam suatu siklus masyarakat. Dengan demikian tingkat persaingan untuk menguasai pasar adalah hal yang muncul dari abstraksi main persaingan.[4] Perlu disadari, munculnya penguasa yang memiliki peran sentral dalam grup tertentu, memiliki modal awal will to power[5] dalam memenuhi kebutuhannya.

Setelah memahami salah satu resiko yang muncul dari fenomena kemiskinan, hal tersebut bukanlah ciri dari modernitas akhir. Dengan deemikian, gejala-gejala yang muncul di selang waktu tertentu akan dapat berubah tergantung situasi-kondisi yang dialami struktur masyarakat tertentu. Dapat saja konflik yang terjadi akan tetap ada dan membudaya. Namun juga sebaliknnya, bila mana masyarakat dapat mengobati penyakit yang membudaya tersebut.

Sentralnya konsep resiko yang ada dalam masyarakat, mendorong pemikir Jerman seperti Ulrich Beck. Munculnya resiko di pandang oleh karena ketidak mampuan masyarakat memenuhi kebutuhannya.[6] Sedikit menilik dampak dari ketidak berdayaan memenuhi kebutuhan sehari-hari, hal ini dipengaruhi pada produktifitas kerja yang dimiliki seseorang. Dengan demikian pendidikan untuk menunjang syarat tercapainya mendapatkan kerja sangatlah penting bagi masyarakat itu sendiri.

Pada akhirnya dapat diketahui, bahwa status sosial yang diantaranya ditunjang oleh faktor pendidikan sangatlah penting bagi terpenuhnya kebutuhan sehari-hari. Meskipun dampak pendidikan tidak terjadi secara instan, namun pola resiko yang akan muncul adalah kurangnya prasyarat dalam tercapainya mendapatkan kerja yang mapan. Dengan terpenuhi atau tercukupinya kebutuhan hidup, masyarakat bias mengembangkan polanya sendiri dalam gaya hidup. Dengan demikian, pentingnya sebuah pendidikan menjadi salah satu penentu dalam tercapainya kemapanan seseorang dalam memenuhi kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal) maupun kesehatan.



Referensi
Bagong Suyanto dan Sutinah, 2005, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Kencana.
Bisri Mustafa dan Eilsa Vindi Maharani, 2008, Kamus Lengkap Sosiologi, Yogyakarta: Panji Pustaka.
Pip Jones, 2009, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jean P Baudrillard, 2009, Masyarakat Konsumsi(trjm), Yogyakarta: Kreasi Wacana.
George Ritzer and Douglas J. Goodman, 2010, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, h. 136.
Paul Strathern, 2001, 90 Menit Bersama Nietzsche, Jakarta: Penerbit Erlangga.



[1]   Jean P Baudrillard, Masyarakat Konsumsi(trjm), Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2009, Hlm. 107-108.
[2] Instrumentally rational action (Weber), adalah tindakan yang pada dasarnya dilakukan dengan adanya kepentingan maupun tujuan tertentu. Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan oleh seseorang di dasarkan pada pertimbangan dan pilihan yang secara sadar dipilih untuk mencapai sebuah tujuan.
[3]  Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, Hlm. 240.
[4]  Jean P Baudrillard, op. cit., Hlm. 109.
[5] Konsep terpenting dalam buah karya Nietzsche yang juga melekat erat dalam beberapa tulisannya adalah ‘will to power’. Dalam kesimpulannya memandang fenomena ia berpendapat, bahwa alam semesta dikendalikan oleh kehendak buta. Dengan demikian, kekuatan yang menjadi pendorong peradapan semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam mencari sebuah kekuasaan. Hal ini di pertegas Nietzsche yang tertulis dalam buku terjemahan karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale sebagai berikut:
Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!
Dalam hal yang sama, untuk mencapai kesempurnaan, manusia terdorong oleh suatu ‘Kehendak untuk Berkuasa’. Dengan kata lain, jantung pergerakan tindakan yang dilakukan manusia tidak lepas dari suatu kehendak.
[6]  Pip Jones, op. cit., Hlm. 244-245.

1 komentar:

  1. nmpaknya fktor eknmi untuk saat mshmnjdi pnybab utma.
    jgn lupa mampir ke eMingko Blog

    BalasHapus