Kamis, 22 Desember 2011

Ekonomi Politik Ketergantungan


EKONOMI POLITIK KETERGANTUNGAN[1]
            Teori pembangunan konvensional (murni ekonomi) atau kemudian dikenal dengan teori modernisasi pada dasarnya menjelaskan bahwa kemajuan atau keterbelakangan (development and underdevelopment) diukur dari seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi itu sendiri semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi. Pertumbuhan output nasional (produk domestik, GNP) tergantung atau dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, seperti jumlah penduduk, kapital, dan tanah yang tersedia.
            Namun dalam kenyataannya, yang menentukan output nasional seringkali bukan hanya faktor-faktor ekonomi seperti itu. Faktor-faktor non-ekonomi, yaitu sosial politik juga ikut menentukan jalannya pembangunan pada suatu negara. Bagian pertama bab ini mencoba memberikan gambaran tentang jalan pikiran (teori-teori) yang digunakan oleh ekonom murni, kemudian dilanjutkan dengan kritik dan jalan pikiran dari kaum strukturalis (berupa teori ketergantungan) yang memasukkan faktor kelembagaan (politik) dalam analisisnya.
A.     DARI KLASIK KE KETERGANTUNGAN
Dalam ekonomi pembangunan, pembagian kerja secara internasional merupakan satu solusi penting untuk memajukan bangsa-bangsa. Teori ini meyakini bahwa efisiensi bisa dicapai jika setiap negara melakukan spesialisasi. Negara-negara di kawasan khatulistiwa karena tanahnya subur menspesialisasi pada produk pertanian. Adapun negara-negara di kawasan utara karena tanahnya yang tidak subur, menspesialisasikan diri pada produk industri. Kemelimpahan pada salah satu produk dan kebutuhan produk lain mendorong munculnya perdagangan internasional (international trade). Ada keyakinan bahwa kedua belah pihak, negara industri dan negara pertanian akan mencapai kemajuan sendiri.
Namun demikian, pada akhirnya fakta menunjukkna bahwa jalan ceritanya tidak semulus yang diharapkan. Fakta menunjukkan bahwa hampir semua negara yang menspesialisasikan diri pada produk barang industri ternyata menjadi negara maju. Adapun hampir semua negara yang menspesialisasikan diri pada produk pertanian menjadi negara terbelakang. Pertanyaan menarik diajukan adalah mengapa itu bisa terjadi? Pertanyaan itu kemudian mendorong munculnya teori-teori pembangunan yang menjelaskannya. Teori pembangunan bisa dikelompokkan dalam teori mazhab analisis yang mencoba membuat model-model teoretis tentang pertumbuhan ekonomi. Teori yang dimaksud adalah teori klasik yang dikemukakan oleh Adam Smith, David Ricardo, Arthur Lewis, Rannis-Fei, Solow Swan, dan Harrod Domar. Selain itu, terdapat mazhab historis yang mencoba melihat sejarah perkembangan suatu negara. Mazhab historis ini antara lain disokong oleh Rostow yang mengemukakan tentang pertumbuhan, dan Karl Marx dengan pendapatnya tentang dialektika historis.
Penggolongan teori juga bisa dikelompokkan dalam kelompok teori modernisasi dan teori structural. Teori modernisasi adalah teori yang menjelaskan baahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal (dalam negeri). Teori struktural merupakan teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor eksternal sebagai penyebab terjadinya kemiskinan di berbagai negara. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari kekuatan luar yang menyebabkan negara bersangkutan gagal melakukan pembangunan.[2]
B.      PEMBANGUNAN MENURUT ARUS UTAMA
Teori modernisasi mendominasi pemikiran tentang teori pembangunan sebagai arus utama (mainstream) dalam literatur ekonomi. Semua teori modernisasi menekankan masalah faktor internal sebagai awal dari keterbelakangan dan kemajuan bangsa.
Teori pertumbuhan ekonomi dari David Ricardo merupakan pengembangan dari teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Adam Smith. Oleh karena itu, garis besar dari proses pertumbuhan dan kesimpulan yang ditarik oleh Ricardo tidak berbeda dengan Adam Smith. Kesimpulannya adalah bahwa perpacuan antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi akhirnya akan dimenangkan oleh pertumbuhan penduduk. Dalam jangka panjang, perekonomian akan mencapai keadaan stasioner.[3]
David Ricardo bisa dianggap mewakili kaum klasik dalam membangun teorinya. Sebagaimana ciri dan mazhab klasik, Ricardo memusatkan perhatian pada peranan manusia dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, output nasional (GDB) tergantung / ditentukan semata-mata oleh jumlah penduduk (sebagai tenaga kerja). Apabila jumlah penduduk meningkat pesat, output akan meningkat pula. Sebaliknya, jika jumlah penduduk menurun tingkat output juga akan menurun. Demikian juga apabila jumlah penduduk konstan, tingkat output juga akan konstan. Karena tingkat pertumbuhan ekonomi (GDB) ditentukan oleh jumlah penduduk, perhatian tentu dipusatkan pada jumlah penduduk.
Ricardo menyatakan bahwa jumlah penduduk amat ditentukan oleh tingkat upah berlaku. Apabila tingkat upah di atas upah yang disebutnya pas-pasan untuk hidup (subsistence), jumlah penduduk cenderung meningkat karena setiap orang merasa mampu hidup sejahtera dan dapat menambah jumlah anak dalam keluarga. Namun, kecenderungan ini justru akan mendorong penurunan tingkat upah mengingat terlalu besarnya supply tenaga kerja. Namun jika tingkat upah dibawah tingkat upah pas-pasan untuk hidup, jumlah penduduk cenderung menurun mengingat ketidakmampuan setiap orang menanggung beban hidup dengan keluarga yang banyak. Penurunan jumlah penduduk akan menaikkan tingkat upah. Dalam jangka panjang, tingkat upah akan cenderung sama dengan tingkat upah yang pas-pasan untuk hidup. Sehingga tidak ada dorongan untuk menambah atau mengurangi jumlah penduduk.
Oleh karena itu, Ricardo mengasumsikan bahwa dalam jangka panjang, jumlah penduduk akan konstan. Karena output tergantung pada jumlah penduduk, diperkirakan dalam jangka panjang output nasional cenderung konstan (berhenti berkembang) sehingga pendapatan perkapita akan konstan. Karena pada tingkat upah alamiah, tingkat upah konstan pertumbuhan penduduk menjadi konstan (berhenti bertambah). Akibatnya, bagian dari kaum kapitalis atas produksi juga konstan pada tingkat minimal, akumulasi kapital berhenti. Kondisi ini yang kemudian dikenal sebagai kondisi stasioner (stasionary state). Dengan teorinya, Ricardo menunjukkan bahwa pertumbuhan output (Pertumbuhan ekonomi) bisa terjadi tanpa diikuti dengan perubahan bagian dari masing-masing pelaku ekonomi.
1. The unlimited Supply of Labor
Teori yang dikemukakan oleh David Ricardo dibangun atas asumsi adanya keterbatasan jumlah penduduk dalam jangka panjang. Namun asumsi ini oleh Arthur Lewis dianggap tidak relevan dengan kondisi negara-negara sedang berkembang ketika jumlah penduduk (tenaga kerja) tak terbatas jumlahnya (unlimited supply of labour). Berapapun tenaga kerja dibutuhkan oleh sektor industri (sektor modern), akan dipasok oleh tenaga kerja dari daerah pedesaan yang bergerak disektor tradisional / pertanian. Jumlah tenaga kerja yang tidak terbatas memungkinkan berkembangnya sektor industri yang belum tentu diikuti dengan kenaikan upah buruh.
Pertumbuhan ekonomi terjadi karena adanya proses akumulasi kapital ketika surplus (keuntungan) kapitalis akan diinvestasikan pada sektor produktif. Investasi (pembukaan usaha) akan membuka peluang kerja bagi masyarakat disektor tradisional (pertanian). Akumulasi kapital membuat surplus kapitalis menjadi besar untuk kemudian diinvestasikan kembali pada sektor produktif dan kembali membuka kesempatan kerja bagi penduduk sektor tradisional. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti dengan peningkatan upah buruh menyebabkan kaum kapitalis (industrialis) mendapatkan surplus yang semakin tinggi. Dengan perkembangan ekonomi yang pesat terjadi, sementara upah atau nasib kaum buruh tidak mengalami perubahan. Kesimpulan ini tentu amat berbeda dengan yang dilakukan oleh Ricardo yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi disertai peningkatan kesejahteraan kaum buruh. Kesejahteraan kaum buruh naik secara konstan ketika kesejahteraan kaum kapitalis juga naik secara konstan sehingga pertumbuhan ekonomi terjadi juga hanya secara konstan.
Proses pertumbuhan ekonomi akibat dari proses akumulasi kapital akan terus berlangsung sampai saat ketika muncul kondisi berikut:
a. Tidak ada lagi surplus tenaga kerja;
b. Sektor modern berkembang amat cepat sehingga mengurangi penduduk sektor tradisional dengan cukup signifikan;
c. Sektor tradisional menggunakan teknik baru sehingga upah riil buruh sektor pertanian meningkat begitu juga upah sektor modern sehingga mengurangi surplus kapitalis.

2. Peran Saving
Dalam perkembangannya, Harrod dan Domar memasukkan peran penting dari tabungan (saving) dalam menentukan pertumbuhan ekonomi. Teori yang kemudian dikenal dengan Teori Harrod Domar berasal dari dua karya yang ditulis secara berbeda dengan kesimpulan yang relatif sama, yaitu dari Roy Harrod dan Evsy Domar. Teori Harrod Domar menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tingkat tabungan dan investasi. Kalau tingkat tabungan rendah, pertumbuhan ekonomi juga rendah, demikian pula sebaliknya. Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi, tabungan, dan investasi dituangkan dalam “rumus Harrod-Domar” yang menjadi sangat populer dikalangan ekonom pembangunan.
      Teori makro dari ekonomi klasik menekankan bahwa sumber utama pertumbuhan ekonomi terletak pada sisi supply. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh J.B. Say bahwa supply creates its owndemand (suplai menciptakan sendiri permintaannya). Di sisi lain, Keynes menekankan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi terletak pada sisi pengeluaran. Pendapatan nasional akan mengalami peningkatanjika ada perubahan pengeluaran oleh rumah tangga (konsumsi), perusahaan (investasi) atau pemerintah (government expenditure). Harrod Domar pada dasarnya mengingatkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (warrated rate of growth) akan terjamin apabila terjadi keseimbangan antara sisi produksi (klasik) dengan sisi pengeluaran (Keynes).
C.      PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN KELEMBAGAAN
Salah satu teori menunjukkan bahwa ada faktor lain diluar faktor ekonomi yang menentukan pembangunan adalah teori dari Rostow.[4] Teori Rostow merupakan teori yang banyak diadopsi oleh negara sedang berkembang sebagai model pembangunan. Teori Rostow menjadi dikenal karena ia juga mempertimbangkan aspek non-ekonomi dalam pembangunan.
Pembangunan menurut Rostow bukan saja mensyaratkan adanya perubahan struktural dari dominasi sektor pertanian kearah pentingnya sektor industri, melainkan juga mensyaratkan terjadinya perubahan aspek sosial politik dan budaya berupa[5] hal-hal berikut:
a.      Terjadinya perubahan orientasi dari institusi sosial, politik, ekonomi, dari berorientasi kedalam negeri (inward looking) menjadi berorientasi keluar negeri (outward looking). Tantangan dan peluang bukan hanya berlingkup domestik tetapi juga berlingkup internasional.
b.      Terjadinya perubahan orientasi penduduk dari berorientasi mempunyai jumlah anak banyak menjadi berorientasi mempunyai jumlah anak sedikit.
c.       Terjadinya perubahan dalam pola menabung dan berinvestasi dari investasi yang tidak produktif kearah investasi yang produktif (menabung di perbankan, menginvestasikan pada sektor riil).
d.      Terjadinya perubahan orientasi dari masyarakat dalam memilih pemimpin berdasarkan atas keturunan menjadi berdasarkan atas kecakapan dengan menekankan pada pentingnya nilai-nilai demokratis.
e.      Terjadinya perubahan dalam memandang alam, dari hambatan menjadi tantangan yang mendorong perkembangan. 
D.     KETERGANTUNGAN: BORJUIS DAN KETERBELAKANGAN
Kekecewaan terhadap arus utama (mainstream) muncul karena dalam kenyataannya, sukses negara maju tidak bisa dikopi begitu saja di negara sedang berkembang. Dalam situasi keterbelakangan, bagaimana mungkin ada arus saving dan investasi, bagaimana mungkin manusia bisa memunculkan inovasi? Dalam keadaan inilah, muncul pemikiran dari ahli ekonomi pembangunan yang berasal dari negara dunia ketiga tentang teori ketergantungan. Pemikiran yang akan dijelaskan berikut ini bisa dikelompokkan dalam ekonomi politik karena teori-teori ketergantungan pada dasarnya meyakini bahwa keputusan dalam alokasi sumber daya tidaklah cukup atas pertimbangan efisiensi melainkan lebih dari itu berkaitan dengan kepentingan publik.[6]
Teori ketergantungan pada dasarnnya sejalan dengan semangat teori struktural, yaitu teori yang menjelaskan perilaku manusia dan gejala atau proses sosial yang terjadi terutama lebih menekankan kepada faktor-faktor lingkungan sebagai penyebabnya. Bahwa kemajuan dan keterbelakangan bangsa-bangsa terjadi bukan terutama disebabkan oleh sikap mental atau kultur bangsa melainkan karena lingkunganlah yang dianggap memaksa bangsa menjadi bangsa maju atau terbelakang. Kemajuan bangsa bukan karena penduduknya mempunyai perilaku progresif, pekerja keras, dinamis, melainkan faktor eksternal yang memungkinkan mereka mencapai kemajuan. Sebaliknya, keterbelakangan bangsa bukan disebabkan oleh faktor penduduknya yang malas dan faktor produksinya yang tidak ada, melainkan karena faktor lingkungan berupa hubungannya dengan bangsa-bangsa lain. Baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang.
Mengapa skenario pembagian kerja internasional untuk memajukan negara industri dan negara agraris tidak terpenuhi? Raul Preibisch, seorang ekonom yang bekerja pada sebuah lembaga PBB, ECLA (Economic Commission for Latin America) menyatakan bahwa fakta menunjukkan adanya polarisasi nasib antara negara industri maju dan negara agraris. Negara industri (negara pusat) cenderung menjadi negara maju sedangkan negara agraris menjadi negara pinggiran, periferal, atau terbelakang yang selalu tergantung (dependen) terhadap negara maju.
Pengaruh aspek politik yang menyebabkan ketergantungan dikemukakan oleh Andree Gunder Frank[7]. Andree Gunder Frank yang bekerja sama dengan Prebisch pada economic Commission for Latin America mempunyai pandangan yang sama dengan Prebisch. Ketergantungan negara-negara satelit (negara pariferal) terhadap negara metropolitan (negara pusat) diyakini terjadi sebagai akibat globalisasi sistem kapitalisme. Keterbelakangan negara-negara satelit adalah akibat langsung dari terjadinya pembangunan di negara-negara metropolis.
Prebisch melihat aspek ekonomi dari persoalan ketergantungan, yaitu ketimpangan nilai tukar. Frank melihat ketergantungan negara satelit terhadap negara metropolis berkaitan dengan aspek politik antara pemodal asing dengan kelompok yang berkuasa di negara-negara satelit. Kaum borjuis di negara-negara metropolis mengembangkan sayap bisnisnya dengan melakukan kerja sama dengan pejabat-pejabat pemerintah di negara satelit dan kaum borjuis dinegara tersebut. Hasil dari kerjasama antara pemodal asing dan pemerintah setempat adalah keluarnya kebijakan yang menguntungkan pemodal asing dan borjuis lokal[8]. Kegiatan ekonomi di negeri itu praktis didominasi oleh ekonomi dari pemodal asing dengan “kaki tangannya” di dalam negeri. Kaum borjuis lokal dalam konteks ini dijadikan sebagai payung politik bagi beroperasinya perusahaan-perusahaan asing. Oleh karena itu, kemajuan ekonomi hanya berkutat pada tiga pihak, yaitu pemodal asing, borjuis lokal, dan pejabat pemerintah sedangkan rakyat banyak teralienasi dari perekonomian nasional. Terjadi ketimpangan pendapatan antara sejumlah elit dan massa proletar.
Dalam situasi seperti itu,  massa proletar seolah seperti anak ayam kehilangan induk, tidak bisa mengadukan persoalan kepada para satelit kekuasaan. Tuntutan untuk melepaskan hubungan dengan investor asing tidak mungkin dilakukan karena mereka yang seharusnya menjadi tempat mengadu (pengusaha dalam negeri) dan pejabat pemerintah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari borjuis asing sebagai kaki tangannya. Karena jalan damai tidak mungkin dilakukan, untuk memutuskan hubungan dengan asing maka solusi yang direkomendasikan adalah sebuah revolusi sosial rakyat, memberontak terhadap pemerintah.

Rujukan refrensi terkait:
Budiman, Arief. 1985. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia.
Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta:BPFE.
Amir Effendi Siregar. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sukirno, Sadono. 1982. Ekonomi Pembangunan, Jakarta: UI Press.
Hudiyanto. 2005. Ekonomi Politik, Jakarta: Bumi Aksara.



[1] Hudiyanto, Ekonomi Politik, Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
[2] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 18.
[3] Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 1982.
[4] Baca juga misalnya kumpulan tulisan yang disunting Amir Effendi Siregar: Arus Pemikiran ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
[5] Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, UI Press, Jakarta, 1982.
[6] Lihat Amir Effendi Siregar, Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
[7] Arief Budiman, op. cit., hlm. 64-73.
[8] Arief Budiman, ibid.

2 komentar:

  1. bener bgt d ngra kita sbgn besar politik = uang jd sdh pst jdinya koruptor

    BalasHapus
  2. bener bgt d ngra kita sbgn besar politik = uang jd sdh pst jdinya koruptor... setuju bngt berantas aja koruptor
    hammer semarang

    obat pembesar penis

    BalasHapus