Minggu, 04 Desember 2011

Perjalanan Hidup Kahlil Gibran

Perjalanan Hidup Kahlil Gibran
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Saat mendengar nama Kahlil Gibran, sebagian besar orang kerap kali memberikan statment sosok yang erat kaitanya dengan puisi-cinta. Dibalik itu, dalam perjalanan hidupnya, Gibran hidup dalam dua alam imajinasi, pikirannya hidup dalam alam khayal, hatinya selalu mendayung dalam bentangan samudera kasih, cinta dan keindahan. Sedang jasadnya hidup dalam alam nyata, dimana kehidupan tidak kerap bersahabat dengan kaum pencinta.[1] Kendati demikian, ia hidup dalam alam nyata yang merasakan apa arti pedih, derita, nestapa, kelaparan, dan lain sebagainya yang kemudian suasana emosional ini mengilhami karya agungnya.

            Dari karya-karya agungnya, sosok seniman ini telah melegenda dari generasi ke generasi serta dikenal oleh banyak kalangan dari segala penjuru dunia sampai saat ini. Bagaimana tidak, karya-karyanya begitu menyentuh pembaca dalam imajinasi maupun perasaan pembaca karyanya. Meskipun ia hidup berabad-abad yang lalu, bukan tidak mungkin karya-karyanya hidup dalam imajinasi generasi kontemporer. Alhasil karya agungnya banyak diterjemahkan dalam berpuluh-puluh bahasa. Hingga pada akhir perjalanan karya yang telah diciptakannya telah mengilhami para politisi, agamawan, sampai kaum feminis.

            Sosok kelahiran Lebanon, 6 Januari 1883, memiliki nama asli Jubran Khalil Jubran yang akrab dengan lidah barat dengan Gibran Kahlil Gibran. Dalam perjalanan hidupnya ia telah merengkuh dua peradapan. Dari daratan yang eksotis, dengan hutan padang, hingga daratan yang lebat dengan hutan beton, hingga pada akhir perjalanannya ia meninggal di New York, Amerika Serikat, 10 April 1931. Jasadnya telah disemayamkan di tempat kelahirannya (Lebanon).

            Melihat perjalanan hidupnya dimasa silam, ia selalu berpindah ketempat satu dengan tempat yang lainnya. Dimulai dari mudanya, ia telah beranjak meninggalkan negeri yang penuh dengan keindahan alam ke Boston, Amerika Serikat tahun 1894 bersama dengan Ibu dan Adik perempuannya. Saat itu Gibran masih berumur sepuluh tahun. Tak lama setelah kepindahannya, ia kembali ke Lebanon untuk belajar di Madrasah Al Hikmah, 1896-1901. Dari sekolah inilah Gibran mulai belajar filsafat yang memberinya pengaruh dalam membuka tirai gaib kehidupan. Dengan ketajaman akalnya ia mampu menjadi filsuf yang mendengarkan irama jiwa, yang kemudian mensyairkannya dalam karya-karyanya.

            Sesaat setelah ia menyelesaikan studinya, Gibran kembali ke Amerika. Sekembalinya di sana, ia bertemu dengan Mary Haskell yang kemudian mengisi bagian dari hidupnya. Wanita ini juga telah berjasa besar mengangkat nama Gibran sebagai seorang penyair yang terkenal. Dengan keinginan dan tekat yang kuat menekuni dunia seni pada akhirnya Gibran memutuskan untuk hijrah menuju Paris guna menekuni dunia seni yang digelutinya lebih mendalam. Lagi-lagi ia bertemu dengan wanita yang menggetarkan jiwanya. Sosok wanita ini bernama Micheline. Hati Gibran yang diluap cinta, ternyata cukup luas untuk menyimpan cinta Mary Haskell dan Micheline sekaligus.

            Dalam masa pendalaman seni di Paris. Gibran membawa keyakinan, bahwa tuhan adalah maha pencipta keindahan. Baginya pohon, gunung, laut, bulan dan bintang ciptaan Tuhan jauh lebih indah dan rumit dari pada teknologi buatan manusia. Berdampingan dengan itu, setelah merasa matang mendalami bidang seni di Paris, ia kembali ke New York. Sejak saat itu Gibran mulai aktif menulis termasuk menulis beberapa artikel di berbagai media masa tahun 1912. Tidak main-main, tulisannya telah buming di berbagai penjuru dunia. Tidak terlewatkan, kritikus vocal sastra Arab terkemuka seperti May Ziadah tercengang ketika membaca beberapa karya Gibran yang melepaskan rentang jarak antara Amerika dan Mesir. Hingga pada perjalanannya perasaan cinta juga tumbuh diantara keduanya.
Hubungan Gibran dengan May Ziadah tercurahkan melalui karya dan beberapa surat-surat.[2] Berseberangan dengan itu, hal ini seakan sudah mendekatkan jarak antara mereka berdua. Di sepanjang kisahnya bersama dengan May Ziadah, Gibran tidak pernah bertatap muka langsung, ia membiarkan rasa cintanya tumbuh subur dalam hatinya. Kendati begitu, mereka seakan tidak ada keinginan untuk mendekatkan jarak selama 20 tahun, hingga pada akhirnya Gibran meninggal 10 Januari 1931 pada usia yang menginjak 48 tahun.



[1] Kahlil Gibran, Jiwa-Jiwa Pemberontak, Navila, Yogyakarta 2004, h. vii.
[2] Sebagian surat-surat cinta Gibran telah di abadikan dalam buku berjudul Kahlil Gibran, falling in Love…?, KLEIN PRESS, Yogyakarta, 2008. 

2 komentar: