Kamis, 22 Desember 2011

Indonesia Era Reformasi


Indonesia Era Reformasi
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada

            Setelah runtuhnya rezim orde baru tahun 1998, Indonesia telah mengukir awal sejarah baru bangsa kearah perubahan signifikan kearah demokrasi. Perlu di cermati, kajian demokrasi Indonesia lebih mengacu pada anomie, ditengarahi hal ini dipengaruhi oleh kokohnya rezim neopatrimonial di tangan Soeharto. Gelombang democratisasi punya efek disfusi luar biasa di Indonesia yang melahirkan semangat dan gerakan pro-demokrasi dalam arena masyarakat sipil sejak dekade 1980-an. Setiap bentuk wacana dan gerakan demokrasi selalu diberantas secara represif oleh tangan-tangan baja rezim Soeharto di masa lalu. Kendati demikian, meruntuhkan pemerintahan Soeharto adalah jalan menuju transisi demokrasi yang sangat problematis.[1]
            Perubahan sistem pemerintahan perlahan telah berubah setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Presiden Soeharto di tuntut mundur oleh berbagai pihak karena dianggap telah melakukan ketidak wajaran atau penyimpangan atas hak-hak dalam masyarakat umum dalam menjalankan roda pemerintahan. Upaya sentral dalam pergolakan ini dimotori oleh mahasiswa atas asumsi dasar menuntut hak-hak yang telah di salah gunakan oleh pemerintahan.
            Pergantian sistem demokrasi telah memberi banyak pelajaran berharga untuk pembangunan bangsa. Dari sebuah kesalahan sistem negara yang telah mengukir sejarah, perlu untuk dipelajari bagi generasi penerus bangsa mendatang. Ketegangan di masa lampau pastinya tidak akan lepas dengan mudah dari ingatan-ingatan pelaku sejarah. Fakta-fakta tersebut mudah dijumpai melalui buku-buku, film dokumenter, sumber informasi dari internet, atau bahkan pelaku hidup sejarah.
Era reformasi telah mengukir sejarah baru. Secara garis besar era reformasi menceritakan tentang transisi dari rezim neopatrionial yang tentunya akan berbeda dengan rezim otoritarian-korporatis. Transisi dari era rezim otoritarian-korporatis pada umumnya melalui jalur negosiasi di antara kekuatan yang bertarung untuk memperebutkan suatu kekuasaan. Jalur musyawarah bersama akan menentukan arah tujuan setelah runtuhnya rezim yang lama.
            Dari banyaknya aktor politik yang berperan, konsentrasi ini dikerucutkan pada beberapa peran militer, kekuatan politik mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya yang berada pada akar rumput. Peran dari militer telah menempati posisi kuat dalam struktur. Peran angkatan bersenjata Indonesia atau yang dulu disebut ABRI, mempunyai peranan besar dalam menyetabilkan keamanan negara kala itu. Jika menengok kebelakang, pola penerapan keamanan yang dijalankan angkatan militer dapat dikatakan diluar batas kewajaran hingga tindakan represif yang dilakukan kerap kali menumbulkan jatuh korban. Pada akhirnya tindakan ini mulai dicekal berbagai pihak.[2]

Konflik Perebutan Kekuasaan
          Dalam menganalisis konflik yang terjadi kita harus mengenal metode pendekatan struktural konflik. Yang ditekankan oleh struktural konflik adalah masyarakat mencangkup berbagai bagian yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan.[3] Dalam mencapai sebuah tujuan tentunya ada pula legitimasi dalam politik. Politik adalah naluri kekuasaan untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial secara keseluruhan. Agar dapat berjalan secara efektif, kekuasaan harus tampak (selalu) benar dihadapan pihak-pihak yang dikuasai, oleh karena itu dia butuh di legitimasi, demikian tesis politik yang dikemukakan Habermas (F. Hardiman, 1993).[4] Hal tersebut pun mengakibatkan masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan dari kelompok yang dominan sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik.[5]
            Jika dihubungkan dengan analisis di atas Indonesia era reformasi terjadi keguncangan politik yang sangat dramatis pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Politik kekuasaan pada masa itu dianggap keruh karena  beberapa kalangan terlalu memihak pada pihak yang dominan dalam kekuasaan. Pihak yang dominan dimaksud disini jelas tertuju pada pihak pemerintahan, militer yang semasa itu juga menjalankan peran dalam pemerintahan, dan juga lembaga hukum Negara.
            Melihat hal tersebut, yang di awali dari mahasiswa beserta dukungan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan keadilan yang mereka sebut perubahan lebih baik (revolutioner). Aksi pertama yang dilakukan mahasiswa adalah aksi demonstrasi besar-besaran. Banyak Universitas yang tergabung dalam  demonstrasi di Jakarta ini. Dukungan tidak hanya dari Universitas di Jakarta saja, bahkan masih banyak universitas di luar ibu kota yang ikut bergabung dalam demonstrasi tersebut. Tujuan yang mereka inginkan adalah turunnya presiden dan hal utama yang diinginkan adalah system Negara yang harus diperbaharui. System Negara yang paling mencolok disini adalah keadilan di Indonesia yang dianggap disalah gunakan oleh pihak penguasa atau pihak pemerintah. Hal ini pun mengacu pada lembaga hukum.

Reformasi Hukum
            Dalam melihat system hukum di Indonesia era reformasi, jelas ada unsur keraguan oleh pihak-pihak asing yang juga mengikuti perkembangan politik di Indonesia. Permasalahan struktur lain dari reformasi hukum Indonesia bagi organisasi multilateral asing ialah bahwa mereka cenderung memandang system hukum melalui prisma system hukum mereka sendiri, dalam artian mereka memandang hukum Indonesia hampir disamakan dengan hukum negaranya. Secara universal, hukum beberapa Negara memang terlihat hampir sama. Dalam suatu kebijakan Negara tentunya juga ada kebijakan yang mengatur hukum yang berlaku, yaitu lembaga hukum negara.
            Dalam era reformasi di Indonesia hukum menjadi melemah karna beberapa faktor yang dianggap menggerogoti lembaga hukum Indonesia.  Faktor-faktor tersebut tentunya tidak akan lepas dari ekonomi. System hukum Indonesia banyak menuai kritikan disamping itu seperti yang dijelaskan sekilas diatas, system hukum juga tidak mengatur pemisahan kekuasaan antara pihak yudikatif dengan pihak eksekutif dan kerap kali hal yang tidak di ingginkan terjadi adalah subyek suap menyuap atau intimidasi.
            Dalam konteks ini, Indonesia belum menjadi Negara hukum, sebuah Negara yang konsisten menyelesaikan banyak hal dengan standar hukum. Pembahasan tim Lindsey tentang proses reformasi memfokuskan pada aspek legal ini, dengan menekankan bahwa agar proses ini berhasil maka Indonesia harus menjadi Negara hukum. Tentang ini, setidaknya kalangan oposisi dan donor luar sepakat ketika melihat pemerintahan Habibie. Lidney juga mencatat bahwa apa yang diharuskan oleh Negara hukum tentang pemerintahan Indonesia dan apa peran hukum dalam proses tersebut masih sangat kabur.[6] Hal ini pun tergambar jelas era reformasi yang menjadi penyulut api revolusi dan menjadi tuntutan masyarakat dalam kesejahteraan.

Kritik atas Ekonomi dan Politik
          Konflik dalam Negara pada dasarnya disebabkan oleh kemajemukan horizontal. Kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara cultural. Majemuk secara social atau cultural dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang pengusaha, pegawai negeri sipil, militer, wartawan, alim ulama, dan cendekiawan.[7] Konflik ini pun dipicu karena pemikiran atas dasar kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Dalam hal ini pemerintah menempati posisi paling atas dalam kebijakan ekonomi maupun politik.
            Kelompok masyarakat yang merasa di anggap rendah dalam status sosialnya lebih cenderung disepelekan oleh pihak pemerintah. Dari hal yang menganggap merendahkan setatus sosial masyarakat adalah pemicu utama terjadinya konflik besar. Kebijakan saat reformasi yang dianggap masyarakat umum merugikan adalah kebijakan dalam hal menghendaki harga beras dan harga bahan bakar yang melambung akibat krisis moneter. Akan tetapi sebenarnya kebijakan tersebut juga di buat oleh pemerintah untuk menyetabilkan harga-harga pada umumnya. Seharusnya kebijakan yang dibuat pemerintah harus mempertimbangkan sisi ekonomi masyarakat kaum bawah bukan malah justru memicu perpecahan dalam kebijakan yang dibuat pemerintah. Akan tetapi, sebenarnya tujuan kebijakan pemerintah adalah menciptakan dan menegakkan aturan main yang adil terkadang mengalami kontrofersi di dalam masyarakat.
            Dari masalah ekonomi pada ujungnya, lalu berkembang pada masalah kebijakan yang mengacu pada konflik politik di masyarakat.  Faktor ini sering kali dianggap masyarakat bahwa pemerintah masih pincang dalam mengambil keputusan.  Di lain hal, kebijakan ini terjadi tidak merata dalam struktur masyarakat. Ada yang di untungkan dan juga ada yang dirugikan. Pihak yang di untungkan paska reformasi adalah pihak pemerintah dan kapitalis. Dan sebaliknya pihak yang dirugikan adalah masyarakat umum, atau buruh.
            Bagaimanapun, dalam mencoba berbuat demikian pemerintahan Habibie berhadapan dengan krisis-krisis yang berlangsung berkelanjutan pada system politik, keuangan, ekonomi, dan administrasi. Berhadapan dengan semua ini, Habibie juga harus menghadapi agitasi anti-korupsi yang meluas di masyarakat, yang menunjukkan dalamnya apriori rakyat dan besarnya hambatan legal dan etis terhadap reformasi. Bebas dari batasan-batasan dari Ordebaru, sebuah proses politik yang tergesa-gesa tetapi syarat motivasi yang tinggi telah mengembalikan negosiasi consensus politik yang demokratis melalui mekanisme parlemen.[8]
            Dari banyaknya problema masyarakat Indonesia era reformasi ini juga dasar atas demonstrasi besar-besaran yang terjadi paska reformasi. Tuntutan ini pun memnginginkan perubahan-perubahan kebijakan pemerintahan. Dalam suasana demo kerapkali menjadi panas di lapangan. Sebenarnya arah konflik menjadi menyimpang ketika di lapangan. Sasaran ketidak puasan mahasiswa ataupun masyarakat berubah mengacu pada militer yang dianggap menghalangi tercapainya aspirasi mereka.

Konflik dengan Militer
            Aktor yang ikut andil dalam demonstrasi adalah militer dari pihak pemerintah, gabungan mahasiswa serta masyarakat yang juga mempunyai ideology politik muslim. Lakon yang ditempati militer atau angkatan bersenjata yang bertujuan menyetabilkan keadaan adalah ABRI. Posisi ini pun sebenarnya bertempat pada posisi sentral seperti pada masa pemerintahan Soeharto. Di lingkup inilah ABRI menjadi tulang punggung pemerintahan. Di dalam peranannya ABRI benar-benar melakukan peranan yang sangat tegas dalam mengambil keputusan dalam menjaga kesetabilan keamanan Negara.
            Dalam tugasnya ABRI secara tegas ingin membubarkan demonstrasi atas tuntutan-tuntutan kepada pemerintah. Cara yang digunakan bisa disebut juga cara kekerasan. Dilain sisi ABRI juga dipersenjatai lengkap untuk membubarkan demonstrasi. Dari pihak yang berada di lingkup demonstrasi, entah siapa yang memulai, keadaan pun pecah menjadi konflik pertikaian. Yang perlu digaris bawahi ialah kegunaan senjata yang fungsinya untuk menjaga keamanan dari musuh justru berbalik kepada masyarakat demonstran.
            Senjata yang digunakan dalam membubarkan para demonstran pun terbilang sangat dahsyat. Akan tetapi masyarakat tidak gentar dalam menanggapi persenjataan yang dimiliki ABRI. Pada akhirnya banyak jatuh korban di kedua belah pihak dalam unjuk rasa menuntut kesejahteraan. Kalau di telusuri dari kedua belah pihak memang mempunyai tujuan masing-masing, sehingga terkadang tujuan yang dicapai cenderung pada konflik kekerasan yang terjadi paska reformasi.

Demokrasi membutuhkan persetujuan.
Persetujuan membutuhkan legitimasi.
Legitimasi membutuhkan kinerja yang efektif.
Tetapi efektifitas bisa dikorbankan untuk persetujuan.
(Larry Diamons).[9]

            Tunggu saja kalau nanti kita kacau akan dating orang kuat,
            dan merampas segala kebebasan yang sudah kita perjuangkan.
            Kembali Indonesia dikuasai orang kuat.
            (Nurcholish Madjid).[10]


Kesimpulan dan Penutup
Melalui penjabaran dan uraian di atas secara singkat kiranya memberi kita pembelajaran yang baik dalam mengenang sejarah Indonesia. Akan tetapi Era Reformasi di Indonesia juga salah satu pembelajaran kita sebagai generasi penerus bangsa. Kemudian tentunya juga menempatkan posisi negeri ini yang lebih sempurna dalam hal pengalaman politik Negara. Disadari atau tidak, beberapa hal tersebut juga merupakan duka bangsa Indonesia di masa lampau yang sekarang tersurat dan tersirat pada para pelaku sejarawan.
Perjuangan antara pemerintah Habibie dan lawan-lawannya dapat digambarkan sebagai suatu pembaruan dari perdebatan panjang dan takterselesaikan antara pendukung Negara hukum dan pendukung staatsidee integralistik yang secara historis dominan. Isu-isu yang dimunculkan oleh Negara hukum itu kompleks dan tidak harus bersesuaian dengan pemahaman rule of law di barat. Kendati demikian, ada konsesus diantara pendukung reformasi bahwa sesuatu yang berhubungan dengan rule of law sudah implicit dalam Negara hukum.
Masalah yang di hadapi Indonesia sekarang adalah bahwa proses pembaharuan ini membutuhkan debat publik yang panjang, membuka kembali perbedaan-perbedaan politik lama dan eksposif, jika ‘bangsa dari bangsa-bangsa’ ini hendak menyelesaikan ‘kisah’ politik baru yang tidak melibatkan integralisme dan konsekuensinya adalah tata hukum baru. Perpecahan diantara kelompok-kelompok oposisi menjadi bagian yang takterhindarkan dari proses ini. Bagaimanapun, proses ini sangat rentan terhadap manipulasi oleh bekas elit Orde Baru yang melakukan resistensi. Organisasi-organisasi multilateral asing yang mendukung reformasi di Indonesia memiliki catatan yang memprihatinkan dalam mencapai reformasi sesungguhnya. Struktur organisasi-organisasi multilateral ini membatasi pencapaian nilai dari dukungan mereka dan dalam banyak hal cenderung destruktif.
Perubahan yang berlangsung terus dan efektif untuk mendesakkan rule of law tidak akan dating dengan tiba-tiba di Indonesia, bagaimanapun radikalnya dukungan terhadap reformasi.[11] Secara disadari oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat jalan reformasi adalah jalan hukum yang sulit. Maka jalan yang sulit ini pasti akan kembali menuju pada masa lalu demokrasi Indonesia yang tak terpecahkan.

Terima kasih. . .

Daftar Pustaka

            *      Eko, Sutoro. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta: APMD Pres.
*      Budiman, Arief . 2000. Harapan Dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia(Trjm). Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
*      Surbakti, Ramlan. Cetakan 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
*      Al-Zastrouwi. 1998. Reformasi Pemikiran. Yogyakarta:  LKPSM.
*      McGillivray, M and Morrisey, O (eds). 1999. Evaluating Economic Liberalisation. London: Macmilan.
*      Diamond, Larry . “The Paradoks of Democracy”, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner, (eds.), The  Global Resurgence of Democracy (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1993)



[1] Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia, APMD Pres, Yogyakarta, 2003, h, v.
[2] Arief Budiman, Harapan Dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia(Trjm),
BIGRAF Publishing, Yogyakarta, 2000.
[3] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, cetakan ke-6, 2007,  h. 149.
[4] Al-Zastrouwi, Reformasi Pemikiran, LKPSM, Yogyakarta, 1998, h. 51.
[5] Ramlan Surbakti, op. cit., h. 149.
[6] M McGillivray and O Morrisey (eds), Evaluating Economic Liberalisation, Macmilan, London, 1999.
[7]  Ramlan Surbakti, op. cit., h. 151-152.
[8] Arief Budiman, op, cit, h. ix.
[9] Larry Diamond, “The Paradoks of Democracy”, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner, (eds.), The  Global Resurgence of Democracy (Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1993), h. 93.
[10]  Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru, APMD Press, Yogyakarta,
2003, h. 331.
[11] Arief Budiman, op, cit, h. 218-219.

1 komentar: