Kota Kreatif & Masyarakat Kreatif
Oleh: Koko Wijayanto
Dewasa ini tentu kita akrab dengan
istilah “kreatif”. Dapat didefinisikan, menurut kamus besar bahasa Indonesia
kreatif memiliki ialah daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; mengandung daya cipta. Sama dengan itu, kreatif juga sangat akrab dengan pekerjaan yang menghendaki
kecerdasan dan imajinasi.[1]
Seperti yang dapat diketahui bersama, kota Yogyakarta adalah
salah satu kota yang dipandang kebanyakan orang sebagai kumpulan orang-orang
kreatif. Hingga ada slogan atau julukan kota Yogyakarta ini sebagai pusat kota
kreatif. Bersinggungan dengan itu, kota Yogyakarta―yang akrab di dengar dengan sebutan “Jogja”―telah terbukti memberi teladan. Dalam artian, telah
banyak seniman, musisi, hingga sang inovasi dagang dalam mengapresiasikan
kreasinya secara kreatif lahir atau telah dibesarkan di kota tempat
Hamengkubuono X meminpin sebagai raja Ngayogyakarta―sekaligus menjabat sebagai
gubernur D.I. Yogyakarta. Hal ini terbukti telah terwujud dari banyaknya karya
mulai lukisan, musik, sastra hingga bentuk-bentuk kerajinan yang dibuat oleh
masyarakat setempat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebiasaan kreatif ini pun
muncul pada salah satu daerah di Jogja yang kini dikenal masyarakat luas dengan
nama Kampoeng Cyber (baca: Kampung Cyber). Kampung ini terletak di Kelurahan
Patehan RT 36, Yogyakarta. Warga setempat menamakan kampungnya menjadi Cyber
Village RT 36 Taman. Awal mula
munculnya kampung ini bermula pada gagasan pemerintah terkait degan wacana
program internet masuk desa. Bersinggungan dengan itu, warga secara bersama
dalam kinerja gotong-royongnya mulai mengabdikan kampungnya menjadi salah satu
sudut kota yang mengusung ide mencerdaskan masyarakat agar melek teknologi
informasi.[2]
Disamping sisi, hal ini berguna untuk siapa saja yang tinggal di kampung
setempat. Adapun wujud kreatifitasnya ialah tak melulu bergantung dengan uluran
tangan dari pemerintah dalam membangun suatu wilayah (baca: daerah).
Hingga kini, semangat kebersamaaan antar warga di RT 36,
Taman, Yogyakarta ini pun masih bisa dirasakan oleh warga setempat maupun
pengunjung yang dapat―juga―menikmati internet gratis yang ada di Cyber
Village. Hingga kemudian, kampung ini pun menjadi salah satu target wisata
bagi para wisatawan daerah hingga luar negeri. Untuk menjalin
kesinambungan ini ketua RT 36 menerangkan:
"Kehidupan sosial di daerah kami identik dengan
kebersamaan dan semangat bekerja sama. Desa kami dianggap sebagai desa dengan
tingkat ekonomi rendah. Sehingga kami, pemuda setempat, dipanggil untuk
meningkatkan pengetahuan penduduk lokal dengan mengajarkan mereka pentingnya
teknologi informasi dalam hal menghubungkan jaringan internet dari rumah
masing-masing kepada yang lain," (okezone, Rabu, 10 Maret 2010)
Terlebih, disudut sebuah pos kampling di kampung
ini pun telah menjadi sasaran diadakannya fasilitas komputer PC dan laptop yang dapat dimanfaatkan secara umum
untuk mengakses jaringan internet. Pun hal
ini telah dijadikan tanggung jawab bersama dalam pengelolaan dan perawatannya.
Meski Kampung Cyber ini belum berjalan satu dekade
lamanya, agaknya dapat disadari bahwa Kampung
Cyber adalah wujud kreatifitas masyarakat dalam hal mengembangkan desanya agar tidak tertinggal oleh berbagai informasi
yang dapat muncul berbagai media terutama
internet. Terkait dengan adanya internet di lingkungan kampung, warga pun
secara otomatis merasa dituntut untuk bersama-sama mengembangkan wawasannya bersanding dengan teknologi informasi yang
semakin berkembang. Baik kondisi global hingga berita up to date kini dapat diketahui secara mudah dengan hadirnya
jaringan internet.
Hasil jerih payah masyarakat setempat pun
terbayar oleh wujud kreatifitasnya. Hal ini berbuah hasil yang semakin
dikukuhkan Heri (salah satu warga kampung cyber), dalam pemaparannya:
"Program ini membuat interaksi antara penduduk lokal
melalui media internet meningkat. Ekonomi mereka juga naik, terutama dalam
penjualan kerajinan secara online. Kebutuhan akan informasi dan pengetahuan
teknologi juga ditransfer cukup baik, sehingga kehidupan sosial sekitarnya
tumbuh lebih subur," (Heri).
Kini dapat disadari bahwa
kreatifitas adalah salah satu pendobrak serius yang dapat memberikan efek
positif dari sisi kemajuan teknologi informasi begitu pula menunjang ekonomi
lokal untuk lebih kreatif. Tambah pula,
"Kedepan,
kami akan lebih mengintegrasikan semua potensi yang ada di kampung ini baik bidang usaha, sosial, seni wisata," tegas ujar ketua RT.[3]
Menelisik lebih dalam
menggunakan kacamata sosiologis dalam melihat realitas dilapangan, agaknya bisa
meminjam sudut pandang Etnometodologi Harold Garfinkel dalam mempertajam kajian
terkait ‘aspek-aspek realitas yang diterima begitu saja’[4].
Garfinkel menyatakan dalam bukunya:
Rasional ilmiah tak akan menjangkau stabilitas karakter
yang ideal sekitarnya ia hanya dibentuk dari kerutinan sehari-hari. Setiap
usaha untuk membuat karakteristik ini stabil atau memaksakan ketaatan dalam
melakukan kegiatan sehari-hari akan memperbesar karakter yang tidak berarti ini
dari lingkungan perilaku seseorang, dan mengandalkan ciri-ciri yang rancu di
dalam sistem interaksi (Garfinkel, 1967: 283).
Lebih jelasnya, Garfinkel mencoba mempelajari dunia
sosial yang juga menyagsikan dunia itu.[5]
Sebagaimana yang akan dikaji lebih dalam Etnometodologi tak lebih hanya sekedar
teori perilaku yang abstrak. Itu merupakan studi empiris mengenai bagaimana
orang menangkap pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Adapun poin yang
ditekankan dalam sudut pandang Garfinkel ialah penekanan pada interaksi tatap
muka (face to face) kesamaan (commonalities), termasuk inti dalam
analisa ialah pentingnya bahasa guna menjelaskan realitas empiris dari manusia
yang sedang diteliti dan menyadari aspek-aspek masyarakat yang subjektif dan
obyektif.[6]
Prinsip yang sama mengenai penggelapan keraguan (Bracketing
doubt) ini terjadi dalam interaksi sehari-hari antara kita dengan orang
lain. Kita sehari-hari tidak tanggap kepada masalah benar atau tidaknya suatu
yang kita sukai, cara kerja sistem moneter, atau realitas lembaga sosial kita.[7]
Proses ini membuat mereka―masyarakat kampung cyber yang dipandang kreatif―mampu
mengamati bagaimana orang membentuk realitas sehari-hari.
Dari serangkaian argumen yang telah dipaparkan Garfinkel,
kini ada beberapa hikmah yang dapat dipetik untuk melihat masyarakat kampung
cyber. Diantaranya ialah masyarakat cyber tidaklah acuh dalam menanggapi
isu-isu global terkait dengan hadirnya media internet yang mana dalam media
tersebut telah menghadirkan berbagai informasi yang dibutuhkan untuk
berkembang. Di lain hal, masyarakat cyber juga menyaring informasi terkait
dengan kebenaran, dalam hal ini ialah mengenai informasi yang di usung oleh
internet, yang mana akhirnya masyarakat kampung cyber berkembang dengan melihat
hal-hal yang dianggapnya benar dalam media internet tersebut. Begitu pula
interaksi antar masyarakat tak melulu dijalankan dengan teknologi, melainkan
masih diangkatnya hubungan yang dianggap semestinya untuk sosialisasi (dengan
bertatap muka dalam hal komunikasi). Berdekatan dengan itu, pada akhirnya
masyarakat kampung cyber pun telah memiliki karakter yang khas terkait kesamaan
prinsip dalam kreatifitasnya terkait dengan internet.
Setelah menelisik mendalam terkait masyarakat kampung
cyber, kini dapat diambil kesimpulan bahwa di kota yang tipikal masyarakatnya
beragam karakter telah memunculkan perbedaan yang mencolok oleh karena berbagai
corak masyarakat. Dengan memanfaatkan kreatifitasnya, hal yang diwujudkan
masyarakat RT 36 Taman, Yogyakarta ialah mengembangkan kampungnya ke arah global
information. Dengan demikian pun masyarakat kampung cyber bukanlah
masyarakat yang ketinggalan informasi terkait makin mudahnya mengakses
informasi melalui jaringan internet.
Daftar Pustaka
Rahardi, R.
Kunjana (2006). Paragraf Jurnalistik. Yogyakarta: Santusa.
Poloma, M.
Margaret (2010). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Hoogvelt, M.M.
Anke (1985). Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Rajawali
Pers.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Artikel di www.okezone.com (10 Maret 2012). Kampung Cyber ada di
Yogyakarta.
Artikel di
www.tribunnews.com (19 Agustus 2010). Warga Kampung Yogyakarta Melek
Internet.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1997, h. 529.
[2] Artikel yang termuat di www.okezone.com, Rabu,
10 Maret 2012, berjudul Kampung Cyber ada di Yogyakarta.
[3] Artikel yang dimuat di www.tribunnews .com,
Kamis, 19 Agustus 2010, berjudul Warga
Kampung Yogyakarta Melek Internet.
[4] Dalam hal ini muatan tulisan ingin difokuskan
pada sudut pandang Garfikel terkait dengan realitas yang diterima begitu saja.
Beberapa realitas yang ada dalam masyarakat kampong cyber ialah munculnya
fenomena jaringan internet yang mana akhirnya membawa pengaruh besar melalui
media-media yang ada didalamnya, seperti media masa hingga kolom-kolom yang
memuat banyak informasi.
[5] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer,
Rajawali Pers, 2010, h. 277.
[6] Ibid., h. 277-278.
[7] Ibid., h. 280.
jogja ya gan..
BalasHapussayang sih ga semua tempat dijogja free wifi. tempat nongkrong seperti malioboro pun diprotect wifinya...
tp overall ane sbg warga jogja bangga. dan matur nuwun atas artikel nya :)
blogwalking lagiiiiii.....