Indonesia Era Reformasi
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Setelah
runtuhnya rezim orde baru tahun 1998, Indonesia telah mengukir awal
sejarah baru bangsa kearah perubahan signifikan kearah demokrasi. Perlu di cermati, kajian
demokrasi Indonesia lebih mengacu pada anomie, ditengarahi hal ini dipengaruhi oleh kokohnya rezim neopatrimonial di
tangan Soeharto. Gelombang democratisasi punya efek disfusi luar biasa di Indonesia yang
melahirkan semangat dan gerakan pro-demokrasi dalam arena masyarakat sipil sejak
dekade 1980-an. Setiap bentuk wacana dan gerakan demokrasi selalu
diberantas secara represif oleh
tangan-tangan baja rezim Soeharto di masa lalu. Kendati demikian, meruntuhkan pemerintahan Soeharto adalah jalan menuju
transisi demokrasi yang sangat problematis.[1]
Perubahan
sistem pemerintahan perlahan telah berubah setelah jatuhnya Presiden Soeharto
pada Mei 1998. Presiden Soeharto di tuntut mundur oleh berbagai pihak karena dianggap telah melakukan ketidak
wajaran atau penyimpangan atas hak-hak dalam masyarakat umum dalam menjalankan roda pemerintahan. Upaya sentral dalam pergolakan ini dimotori oleh mahasiswa atas asumsi dasar menuntut hak-hak yang telah
di salah gunakan oleh pemerintahan.
Pergantian
sistem demokrasi telah memberi banyak pelajaran berharga untuk pembangunan
bangsa. Dari sebuah kesalahan sistem negara yang telah mengukir sejarah, perlu untuk dipelajari bagi generasi penerus bangsa mendatang. Ketegangan di masa lampau pastinya tidak akan lepas dengan mudah dari
ingatan-ingatan pelaku sejarah. Fakta-fakta tersebut mudah
dijumpai melalui buku-buku, film dokumenter, sumber informasi dari internet,
atau bahkan pelaku hidup sejarah.
Era reformasi telah mengukir sejarah
baru. Secara garis besar era reformasi menceritakan tentang transisi dari rezim
neopatrionial yang tentunya akan
berbeda dengan rezim otoritarian-korporatis.
Transisi dari era rezim otoritarian-korporatis
pada umumnya melalui jalur negosiasi di antara kekuatan yang bertarung untuk
memperebutkan suatu kekuasaan. Jalur musyawarah bersama akan menentukan arah
tujuan setelah runtuhnya rezim yang lama.
Dari
banyaknya aktor politik yang berperan, konsentrasi ini dikerucutkan pada
beberapa peran militer, kekuatan politik mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya
yang berada pada akar rumput. Peran dari militer telah menempati posisi kuat dalam
struktur. Peran angkatan bersenjata Indonesia atau yang dulu disebut ABRI, mempunyai peranan besar dalam menyetabilkan keamanan negara kala itu. Jika menengok kebelakang, pola penerapan keamanan yang dijalankan angkatan militer dapat dikatakan diluar batas kewajaran hingga tindakan represif yang dilakukan kerap kali menumbulkan jatuh korban. Pada akhirnya tindakan ini mulai dicekal berbagai pihak. [2]
Konflik Perebutan Kekuasaan
Dalam menganalisis konflik yang
terjadi kita harus mengenal metode pendekatan struktural konflik. Yang
ditekankan oleh struktural konflik adalah masyarakat mencangkup berbagai bagian
yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan.[3]
Dalam mencapai sebuah tujuan tentunya ada pula legitimasi dalam politik. Politik adalah naluri kekuasaan untuk
mengatur dan mengarahkan kehidupan sosial secara keseluruhan. Agar dapat
berjalan secara efektif, kekuasaan
harus tampak (selalu) benar dihadapan pihak-pihak yang dikuasai, oleh karena
itu dia butuh di legitimasi, demikian
tesis politik yang dikemukakan
Habermas (F. Hardiman, 1993).[4]
Hal tersebut pun mengakibatkan masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaan
dari kelompok yang dominan sehingga masyarakat selalu dalam keadaan konflik.[5]
Jika
dihubungkan dengan analisis di atas Indonesia era reformasi terjadi keguncangan
politik yang sangat dramatis pada
masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Politik kekuasaan pada masa itu
dianggap keruh karena beberapa kalangan
terlalu memihak pada pihak yang dominan
dalam kekuasaan. Pihak yang dominan
dimaksud disini jelas tertuju pada pihak pemerintahan, militer yang semasa itu
juga menjalankan peran dalam pemerintahan, dan juga lembaga hukum Negara.
Melihat
hal tersebut, yang di awali dari mahasiswa beserta dukungan masyarakat pada
umumnya untuk menegakkan keadilan yang mereka sebut perubahan lebih baik (revolutioner). Aksi pertama yang
dilakukan mahasiswa adalah aksi demonstrasi besar-besaran. Banyak Universitas
yang tergabung dalam demonstrasi di
Jakarta ini. Dukungan tidak hanya dari Universitas di Jakarta saja, bahkan
masih banyak universitas di luar ibu kota yang ikut bergabung dalam demonstrasi
tersebut. Tujuan yang mereka inginkan adalah turunnya presiden dan hal utama
yang diinginkan adalah system Negara yang harus diperbaharui. System Negara
yang paling mencolok disini adalah keadilan di Indonesia yang dianggap disalah
gunakan oleh pihak penguasa atau pihak pemerintah. Hal ini pun mengacu pada
lembaga hukum.
Reformasi Hukum
Dalam
melihat system hukum di Indonesia era reformasi, jelas ada unsur keraguan oleh
pihak-pihak asing yang juga mengikuti perkembangan politik di Indonesia.
Permasalahan struktur lain dari reformasi hukum Indonesia bagi organisasi multilateral asing ialah bahwa mereka cenderung memandang system hukum
melalui prisma system hukum mereka
sendiri, dalam artian mereka memandang hukum Indonesia hampir disamakan dengan
hukum negaranya. Secara universal,
hukum beberapa Negara memang terlihat hampir sama. Dalam suatu kebijakan Negara
tentunya juga ada kebijakan yang mengatur hukum yang berlaku, yaitu lembaga
hukum negara.
Dalam
era reformasi di Indonesia hukum menjadi melemah karna beberapa faktor yang
dianggap menggerogoti lembaga hukum Indonesia. Faktor-faktor tersebut tentunya tidak akan
lepas dari ekonomi. System hukum Indonesia banyak menuai kritikan disamping itu
seperti yang dijelaskan sekilas diatas, system hukum juga tidak mengatur
pemisahan kekuasaan antara pihak yudikatif
dengan pihak eksekutif dan kerap
kali hal yang tidak di ingginkan terjadi adalah subyek suap menyuap atau intimidasi.
Dalam
konteks ini, Indonesia belum menjadi Negara hukum, sebuah Negara yang konsisten
menyelesaikan banyak hal dengan standar hukum. Pembahasan tim Lindsey tentang
proses reformasi memfokuskan pada aspek legal ini, dengan menekankan bahwa agar
proses ini berhasil maka Indonesia harus menjadi Negara hukum. Tentang ini,
setidaknya kalangan oposisi dan donor luar sepakat ketika melihat pemerintahan
Habibie. Lidney juga mencatat bahwa apa yang diharuskan oleh Negara hukum
tentang pemerintahan Indonesia dan apa peran hukum dalam proses tersebut masih
sangat kabur.[6]
Hal ini pun tergambar jelas era reformasi yang menjadi penyulut api revolusi dan menjadi tuntutan masyarakat
dalam kesejahteraan.
Kritik atas Ekonomi dan Politik
Konflik dalam Negara pada dasarnya
disebabkan oleh kemajemukan horizontal.
Kemajemukan horizontal ialah struktur
masyarakat yang majemuk secara cultural.
Majemuk secara social atau cultural dalam arti perbedaan pekerjaan
dan profesi seperti petani, buruh, pedagang pengusaha, pegawai negeri sipil,
militer, wartawan, alim ulama, dan cendekiawan.[7]
Konflik ini pun dipicu karena pemikiran atas dasar kekayaan, pengetahuan, dan
kekuasaan. Dalam hal ini pemerintah menempati posisi paling atas dalam
kebijakan ekonomi maupun politik.
Kelompok
masyarakat yang merasa di anggap rendah dalam status sosialnya lebih cenderung
disepelekan oleh pihak pemerintah. Dari hal yang menganggap merendahkan setatus
sosial masyarakat adalah pemicu utama terjadinya konflik besar. Kebijakan saat
reformasi yang dianggap masyarakat umum merugikan adalah kebijakan dalam hal
menghendaki harga beras dan harga bahan bakar yang melambung akibat krisis
moneter. Akan tetapi sebenarnya kebijakan tersebut juga di buat oleh pemerintah
untuk menyetabilkan harga-harga pada umumnya. Seharusnya kebijakan yang dibuat
pemerintah harus mempertimbangkan sisi ekonomi masyarakat kaum bawah bukan
malah justru memicu perpecahan dalam kebijakan yang dibuat pemerintah. Akan
tetapi, sebenarnya tujuan kebijakan pemerintah adalah menciptakan dan
menegakkan aturan main yang adil terkadang mengalami kontrofersi di dalam
masyarakat.
Dari
masalah ekonomi pada ujungnya, lalu berkembang pada masalah kebijakan yang
mengacu pada konflik politik di masyarakat.
Faktor ini sering kali dianggap masyarakat bahwa pemerintah masih
pincang dalam mengambil keputusan. Di
lain hal, kebijakan ini terjadi tidak merata dalam struktur masyarakat. Ada
yang di untungkan dan juga ada yang dirugikan. Pihak yang di untungkan paska
reformasi adalah pihak pemerintah dan kapitalis. Dan sebaliknya pihak yang
dirugikan adalah masyarakat umum, atau buruh.
Bagaimanapun,
dalam mencoba berbuat demikian pemerintahan Habibie berhadapan dengan
krisis-krisis yang berlangsung berkelanjutan pada system politik, keuangan,
ekonomi, dan administrasi. Berhadapan dengan semua ini, Habibie juga harus
menghadapi agitasi anti-korupsi yang
meluas di masyarakat, yang menunjukkan dalamnya apriori rakyat dan besarnya
hambatan legal dan etis terhadap reformasi. Bebas dari batasan-batasan dari
Ordebaru, sebuah proses politik yang tergesa-gesa tetapi syarat motivasi yang
tinggi telah mengembalikan negosiasi consensus
politik yang demokratis melalui mekanisme
parlemen.[8]
Dari
banyaknya problema masyarakat Indonesia era reformasi ini juga dasar atas
demonstrasi besar-besaran yang terjadi paska reformasi. Tuntutan ini pun
memnginginkan perubahan-perubahan kebijakan pemerintahan. Dalam suasana demo
kerapkali menjadi panas di lapangan. Sebenarnya arah konflik menjadi menyimpang
ketika di lapangan. Sasaran ketidak puasan mahasiswa ataupun masyarakat berubah
mengacu pada militer yang dianggap menghalangi tercapainya aspirasi mereka.
Konflik dengan Militer
Aktor
yang ikut andil dalam demonstrasi adalah militer dari pihak pemerintah,
gabungan mahasiswa serta masyarakat yang juga mempunyai ideology politik muslim. Lakon yang ditempati militer atau angkatan
bersenjata yang bertujuan menyetabilkan keadaan adalah ABRI. Posisi ini pun
sebenarnya bertempat pada posisi sentral seperti pada masa pemerintahan
Soeharto. Di lingkup inilah ABRI menjadi tulang punggung pemerintahan. Di dalam
peranannya ABRI benar-benar melakukan peranan yang sangat tegas dalam mengambil
keputusan dalam menjaga kesetabilan keamanan Negara.
Dalam
tugasnya ABRI secara tegas ingin membubarkan demonstrasi atas tuntutan-tuntutan
kepada pemerintah. Cara yang digunakan bisa disebut juga cara kekerasan. Dilain
sisi ABRI juga dipersenjatai lengkap untuk membubarkan demonstrasi. Dari pihak
yang berada di lingkup demonstrasi, entah siapa yang memulai, keadaan pun pecah
menjadi konflik pertikaian. Yang perlu digaris bawahi ialah kegunaan senjata
yang fungsinya untuk menjaga keamanan dari musuh justru berbalik kepada
masyarakat demonstran.
Senjata
yang digunakan dalam membubarkan para demonstran pun terbilang sangat dahsyat.
Akan tetapi masyarakat tidak gentar dalam menanggapi persenjataan yang dimiliki
ABRI. Pada akhirnya banyak jatuh korban di kedua belah pihak dalam unjuk rasa
menuntut kesejahteraan. Kalau di telusuri dari kedua belah pihak memang
mempunyai tujuan masing-masing, sehingga terkadang tujuan yang dicapai
cenderung pada konflik kekerasan yang terjadi paska reformasi.
Demokrasi
membutuhkan persetujuan.
Persetujuan
membutuhkan legitimasi.
Legitimasi
membutuhkan kinerja yang efektif.
Tetapi
efektifitas bisa dikorbankan untuk persetujuan.
(Larry Diamons).[9]
Tunggu saja kalau nanti kita kacau
akan dating orang kuat,
dan merampas segala kebebasan yang
sudah kita perjuangkan.
Kembali Indonesia dikuasai orang
kuat.
(Nurcholish
Madjid).[10]
Kesimpulan dan Penutup
Melalui
penjabaran dan uraian di atas secara singkat kiranya memberi kita pembelajaran
yang baik dalam mengenang sejarah Indonesia. Akan tetapi Era Reformasi di
Indonesia juga salah satu pembelajaran kita sebagai generasi penerus bangsa.
Kemudian tentunya juga menempatkan posisi negeri ini yang lebih sempurna dalam
hal pengalaman politik Negara. Disadari atau tidak, beberapa hal tersebut juga
merupakan duka bangsa Indonesia di masa lampau yang sekarang tersurat dan
tersirat pada para pelaku sejarawan.
Perjuangan
antara pemerintah Habibie dan lawan-lawannya dapat digambarkan sebagai suatu
pembaruan dari perdebatan panjang dan takterselesaikan antara pendukung Negara
hukum dan pendukung staatsidee integralistik yang secara historis dominan. Isu-isu yang
dimunculkan oleh Negara hukum itu kompleks dan tidak harus bersesuaian dengan
pemahaman rule of law di barat.
Kendati demikian, ada konsesus diantara pendukung reformasi bahwa sesuatu yang
berhubungan dengan rule of law sudah implicit dalam Negara hukum.
Masalah yang
di hadapi Indonesia sekarang adalah bahwa proses pembaharuan ini membutuhkan
debat publik yang panjang, membuka kembali perbedaan-perbedaan politik lama dan
eksposif, jika ‘bangsa dari bangsa-bangsa’ ini hendak menyelesaikan ‘kisah’ politik baru yang tidak
melibatkan integralisme dan
konsekuensinya adalah tata hukum baru. Perpecahan diantara kelompok-kelompok oposisi menjadi bagian yang
takterhindarkan dari proses ini. Bagaimanapun, proses ini sangat rentan
terhadap manipulasi oleh bekas elit Orde Baru yang melakukan resistensi. Organisasi-organisasi multilateral asing yang mendukung
reformasi di Indonesia memiliki catatan yang memprihatinkan dalam mencapai
reformasi sesungguhnya. Struktur organisasi-organisasi multilateral ini membatasi pencapaian nilai dari dukungan mereka
dan dalam banyak hal cenderung destruktif.
Perubahan
yang berlangsung terus dan efektif
untuk mendesakkan rule of law tidak
akan dating dengan tiba-tiba di Indonesia, bagaimanapun radikalnya dukungan
terhadap reformasi.[11]
Secara disadari oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat jalan
reformasi adalah jalan hukum yang sulit. Maka jalan yang sulit ini pasti akan
kembali menuju pada masa lalu demokrasi Indonesia yang tak terpecahkan.
Terima
kasih. . .
Daftar Pustaka
Eko, Sutoro. 2003.
Transisi Demokrasi Indonesia. Yogyakarta:
APMD Pres.
Budiman, Arief . 2000.
Harapan Dan Kecemasan Menatap Arah
Reformasi Indonesia(Trjm). Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
Surbakti, Ramlan.
Cetakan 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta:
Grasindo.
Al-Zastrouwi.
1998. Reformasi Pemikiran. Yogyakarta:
LKPSM.
McGillivray, M
and Morrisey, O (eds). 1999. Evaluating
Economic Liberalisation. London: Macmilan.
Diamond, Larry . “The
Paradoks of Democracy”, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner, (eds.), The
Global Resurgence of Democracy (Baltimore: The Johns Hopkins
University Press, 1993)
[1]
Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia,
APMD Pres, Yogyakarta, 2003, h, v.
[2]
Arief Budiman, Harapan Dan Kecemasan
Menatap Arah Reformasi Indonesia(Trjm),
BIGRAF Publishing,
Yogyakarta, 2000.
[3]
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo,
Jakarta, cetakan ke-6, 2007, h. 149.
[4]
Al-Zastrouwi, Reformasi Pemikiran, LKPSM,
Yogyakarta, 1998, h. 51.
[5]
Ramlan Surbakti, op. cit., h. 149.
[6]
M McGillivray and O Morrisey (eds), Evaluating
Economic Liberalisation, Macmilan, London, 1999.
[7] Ramlan Surbakti, op. cit., h. 151-152.
[8]
Arief Budiman, op, cit, h. ix.
[9]
Larry Diamond, “The Paradoks of Democracy”, dalam Larry Diamond dan Marc F.
Plattner, (eds.), The Global Resurgence of Democracy (Baltimore:
The Johns Hopkins University Press, 1993), h. 93.
[10] Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde Baru, APMD
Press, Yogyakarta,
2003, h. 331.
[11]
Arief Budiman, op, cit, h. 218-219.