EKONOMI POLITIK KETERGANTUNGAN[1]
Teori pembangunan konvensional (murni ekonomi) atau
kemudian dikenal dengan teori modernisasi pada dasarnya menjelaskan bahwa
kemajuan atau keterbelakangan (development
and underdevelopment) diukur dari seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi
itu sendiri semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi. Pertumbuhan output nasional (produk domestik, GNP)
tergantung atau dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, seperti jumlah
penduduk, kapital, dan tanah yang tersedia.
Namun dalam kenyataannya, yang menentukan output nasional seringkali bukan hanya faktor-faktor
ekonomi seperti itu. Faktor-faktor non-ekonomi, yaitu sosial politik juga ikut
menentukan jalannya pembangunan pada suatu negara. Bagian pertama bab ini
mencoba memberikan gambaran tentang jalan pikiran (teori-teori) yang digunakan
oleh ekonom murni, kemudian dilanjutkan dengan kritik dan jalan pikiran dari
kaum strukturalis (berupa teori ketergantungan) yang memasukkan faktor kelembagaan
(politik) dalam analisisnya.
A.
DARI KLASIK KE KETERGANTUNGAN
Dalam ekonomi
pembangunan, pembagian kerja secara internasional merupakan satu solusi penting
untuk memajukan bangsa-bangsa. Teori ini meyakini bahwa efisiensi bisa dicapai
jika setiap negara melakukan spesialisasi. Negara-negara di kawasan
khatulistiwa karena tanahnya subur menspesialisasi pada produk pertanian.
Adapun negara-negara di kawasan utara karena tanahnya yang tidak subur,
menspesialisasikan diri pada produk industri. Kemelimpahan pada salah satu
produk dan kebutuhan produk lain mendorong munculnya perdagangan internasional
(international trade). Ada keyakinan
bahwa kedua belah pihak, negara industri dan negara pertanian akan mencapai
kemajuan sendiri.
Namun
demikian, pada akhirnya fakta menunjukkna bahwa jalan ceritanya tidak semulus
yang diharapkan. Fakta menunjukkan bahwa hampir semua negara yang
menspesialisasikan diri pada produk barang industri ternyata menjadi negara
maju. Adapun hampir semua negara yang menspesialisasikan diri pada produk
pertanian menjadi negara terbelakang. Pertanyaan menarik diajukan adalah
mengapa itu bisa terjadi? Pertanyaan itu kemudian mendorong munculnya
teori-teori pembangunan yang menjelaskannya. Teori pembangunan bisa
dikelompokkan dalam teori mazhab analisis yang mencoba membuat model-model
teoretis tentang pertumbuhan ekonomi. Teori yang dimaksud adalah teori klasik
yang dikemukakan oleh Adam Smith, David Ricardo, Arthur Lewis, Rannis-Fei,
Solow Swan, dan Harrod Domar. Selain itu, terdapat mazhab historis yang mencoba
melihat sejarah perkembangan suatu negara. Mazhab historis ini antara lain
disokong oleh Rostow yang mengemukakan tentang pertumbuhan, dan Karl Marx
dengan pendapatnya tentang dialektika historis.
Penggolongan
teori juga bisa dikelompokkan dalam kelompok teori modernisasi dan teori
structural. Teori modernisasi adalah teori yang menjelaskan baahwa
kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal (dalam negeri). Teori struktural
merupakan teori yang lebih banyak mempersoalkan faktor eksternal sebagai
penyebab terjadinya kemiskinan di berbagai negara. Kemiskinan dilihat sebagai
akibat dari kekuatan luar yang menyebabkan negara bersangkutan gagal melakukan
pembangunan.[2]
B.
PEMBANGUNAN MENURUT ARUS UTAMA
Teori
modernisasi mendominasi pemikiran tentang teori pembangunan sebagai arus utama
(mainstream) dalam literatur ekonomi.
Semua teori modernisasi menekankan masalah faktor internal sebagai awal dari
keterbelakangan dan kemajuan bangsa.
Teori
pertumbuhan ekonomi dari David Ricardo merupakan pengembangan dari teori
pertumbuhan yang dikemukakan oleh Adam Smith. Oleh karena itu, garis besar dari
proses pertumbuhan dan kesimpulan yang ditarik oleh Ricardo tidak berbeda
dengan Adam Smith. Kesimpulannya adalah bahwa perpacuan antara pertumbuhan
penduduk dengan pertumbuhan ekonomi akhirnya akan dimenangkan oleh pertumbuhan
penduduk. Dalam jangka panjang, perekonomian akan mencapai keadaan stasioner.[3]
David
Ricardo bisa dianggap mewakili kaum klasik dalam membangun teorinya.
Sebagaimana ciri dan mazhab klasik, Ricardo memusatkan perhatian pada peranan
manusia dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, output nasional (GDB) tergantung / ditentukan semata-mata oleh
jumlah penduduk (sebagai tenaga kerja). Apabila jumlah penduduk meningkat
pesat, output akan meningkat pula.
Sebaliknya, jika jumlah penduduk menurun tingkat output juga akan menurun. Demikian juga apabila jumlah penduduk
konstan, tingkat output juga akan
konstan. Karena tingkat pertumbuhan ekonomi (GDB) ditentukan oleh jumlah
penduduk, perhatian tentu dipusatkan pada jumlah penduduk.
Ricardo
menyatakan bahwa jumlah penduduk amat ditentukan oleh tingkat upah berlaku.
Apabila tingkat upah di atas upah yang disebutnya pas-pasan untuk hidup (subsistence), jumlah penduduk cenderung
meningkat karena setiap orang merasa mampu hidup sejahtera dan dapat menambah
jumlah anak dalam keluarga. Namun, kecenderungan ini justru akan mendorong
penurunan tingkat upah mengingat terlalu besarnya supply tenaga kerja. Namun jika tingkat upah dibawah tingkat upah
pas-pasan untuk hidup, jumlah penduduk cenderung menurun mengingat ketidakmampuan
setiap orang menanggung beban hidup dengan keluarga yang banyak. Penurunan
jumlah penduduk akan menaikkan tingkat upah. Dalam jangka panjang, tingkat upah
akan cenderung sama dengan tingkat upah yang pas-pasan untuk hidup. Sehingga
tidak ada dorongan untuk menambah atau mengurangi jumlah penduduk.
Oleh
karena itu, Ricardo mengasumsikan bahwa dalam jangka panjang, jumlah penduduk
akan konstan. Karena output tergantung
pada jumlah penduduk, diperkirakan dalam jangka panjang output nasional cenderung konstan (berhenti berkembang) sehingga
pendapatan perkapita akan konstan. Karena pada tingkat upah alamiah, tingkat
upah konstan pertumbuhan penduduk menjadi konstan (berhenti bertambah).
Akibatnya, bagian dari kaum kapitalis atas produksi juga konstan pada tingkat
minimal, akumulasi kapital berhenti. Kondisi ini yang kemudian dikenal sebagai
kondisi stasioner (stasionary state).
Dengan teorinya, Ricardo menunjukkan bahwa pertumbuhan output (Pertumbuhan ekonomi) bisa terjadi tanpa diikuti dengan
perubahan bagian dari masing-masing pelaku ekonomi.
1. The unlimited Supply of Labor
Teori
yang dikemukakan oleh David Ricardo dibangun atas asumsi adanya keterbatasan
jumlah penduduk dalam jangka panjang. Namun asumsi ini oleh Arthur Lewis
dianggap tidak relevan dengan kondisi negara-negara sedang berkembang ketika
jumlah penduduk (tenaga kerja) tak terbatas jumlahnya (unlimited supply of labour). Berapapun
tenaga kerja dibutuhkan oleh sektor industri (sektor modern), akan dipasok oleh
tenaga kerja dari daerah pedesaan yang bergerak disektor tradisional /
pertanian. Jumlah tenaga kerja yang tidak terbatas memungkinkan berkembangnya sektor
industri yang belum tentu diikuti dengan kenaikan upah buruh.
Pertumbuhan
ekonomi terjadi karena adanya proses akumulasi kapital ketika surplus
(keuntungan) kapitalis akan diinvestasikan pada sektor produktif. Investasi
(pembukaan usaha) akan membuka peluang kerja bagi masyarakat disektor tradisional
(pertanian). Akumulasi kapital membuat surplus kapitalis menjadi besar untuk
kemudian diinvestasikan kembali pada sektor produktif dan kembali membuka
kesempatan kerja bagi penduduk sektor tradisional. Pertumbuhan ekonomi yang
tidak diikuti dengan peningkatan upah buruh menyebabkan kaum kapitalis
(industrialis) mendapatkan surplus yang semakin tinggi. Dengan perkembangan
ekonomi yang pesat terjadi, sementara upah atau nasib kaum buruh tidak
mengalami perubahan. Kesimpulan ini tentu amat berbeda dengan yang dilakukan
oleh Ricardo yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi disertai
peningkatan kesejahteraan kaum buruh. Kesejahteraan kaum buruh naik secara
konstan ketika kesejahteraan kaum kapitalis juga naik secara konstan sehingga
pertumbuhan ekonomi terjadi juga hanya secara konstan.
Proses
pertumbuhan ekonomi akibat dari proses akumulasi kapital akan terus berlangsung
sampai saat ketika muncul kondisi berikut:
a. Tidak ada lagi surplus tenaga kerja;
b. Sektor modern berkembang amat cepat
sehingga mengurangi penduduk sektor tradisional dengan cukup signifikan;
c. Sektor tradisional menggunakan teknik
baru sehingga upah riil buruh sektor pertanian meningkat begitu juga upah
sektor modern sehingga mengurangi surplus kapitalis.
2. Peran Saving
Dalam
perkembangannya, Harrod dan Domar memasukkan peran penting dari tabungan (saving) dalam menentukan pertumbuhan
ekonomi. Teori yang kemudian dikenal dengan Teori Harrod Domar berasal dari dua
karya yang ditulis secara berbeda dengan kesimpulan yang relatif sama, yaitu
dari Roy Harrod dan Evsy Domar. Teori Harrod Domar menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi ditentukan oleh tingginya tingkat tabungan dan investasi. Kalau tingkat
tabungan rendah, pertumbuhan ekonomi juga rendah, demikian pula sebaliknya.
Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi, tabungan, dan investasi dituangkan
dalam “rumus Harrod-Domar” yang menjadi sangat populer dikalangan ekonom
pembangunan.
Teori makro dari ekonomi klasik menekankan bahwa sumber
utama pertumbuhan ekonomi terletak pada sisi supply. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang dikemukakan oleh J.B.
Say bahwa supply creates its owndemand (suplai
menciptakan sendiri permintaannya). Di sisi lain, Keynes menekankan bahwa
sumber pertumbuhan ekonomi terletak pada sisi pengeluaran. Pendapatan nasional
akan mengalami peningkatanjika ada perubahan pengeluaran oleh rumah tangga
(konsumsi), perusahaan (investasi) atau pemerintah (government expenditure). Harrod Domar pada dasarnya mengingatkan
bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (warrated
rate of growth) akan terjamin apabila terjadi keseimbangan antara sisi
produksi (klasik) dengan sisi pengeluaran (Keynes).
C.
PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN KELEMBAGAAN
Salah
satu teori menunjukkan bahwa ada faktor lain diluar faktor ekonomi yang
menentukan pembangunan adalah teori dari Rostow.[4]
Teori Rostow merupakan teori yang banyak diadopsi oleh negara sedang berkembang
sebagai model pembangunan. Teori Rostow menjadi dikenal karena ia juga
mempertimbangkan aspek non-ekonomi dalam pembangunan.
Pembangunan
menurut Rostow bukan saja mensyaratkan adanya perubahan struktural dari
dominasi sektor pertanian kearah pentingnya sektor industri, melainkan juga
mensyaratkan terjadinya perubahan aspek sosial politik dan budaya berupa[5]
hal-hal berikut:
a. Terjadinya perubahan orientasi dari
institusi sosial, politik, ekonomi, dari berorientasi kedalam negeri (inward looking) menjadi berorientasi
keluar negeri (outward looking). Tantangan
dan peluang bukan hanya berlingkup domestik tetapi juga berlingkup
internasional.
b. Terjadinya perubahan orientasi
penduduk dari berorientasi mempunyai jumlah anak banyak menjadi berorientasi
mempunyai jumlah anak sedikit.
c. Terjadinya perubahan dalam pola
menabung dan berinvestasi dari investasi yang tidak produktif kearah investasi
yang produktif (menabung di perbankan, menginvestasikan pada sektor riil).
d. Terjadinya perubahan orientasi dari
masyarakat dalam memilih pemimpin berdasarkan atas keturunan menjadi
berdasarkan atas kecakapan dengan menekankan pada pentingnya nilai-nilai
demokratis.
e. Terjadinya perubahan dalam memandang
alam, dari hambatan menjadi tantangan yang mendorong perkembangan.
D.
KETERGANTUNGAN: BORJUIS DAN
KETERBELAKANGAN
Kekecewaan
terhadap arus utama (mainstream)
muncul karena dalam kenyataannya, sukses negara maju tidak bisa dikopi begitu
saja di negara sedang berkembang. Dalam situasi keterbelakangan, bagaimana
mungkin ada arus saving dan
investasi, bagaimana mungkin manusia bisa memunculkan inovasi? Dalam keadaan
inilah, muncul pemikiran dari ahli ekonomi pembangunan yang berasal dari negara
dunia ketiga tentang teori ketergantungan. Pemikiran yang akan dijelaskan
berikut ini bisa dikelompokkan dalam ekonomi politik karena teori-teori
ketergantungan pada dasarnya meyakini bahwa keputusan dalam alokasi sumber daya
tidaklah cukup atas pertimbangan efisiensi melainkan lebih dari itu berkaitan
dengan kepentingan publik.[6]
Teori
ketergantungan pada dasarnnya sejalan dengan semangat teori struktural, yaitu
teori yang menjelaskan perilaku manusia dan gejala atau proses sosial yang
terjadi terutama lebih menekankan kepada faktor-faktor lingkungan sebagai
penyebabnya. Bahwa kemajuan dan keterbelakangan bangsa-bangsa terjadi bukan
terutama disebabkan oleh sikap mental atau kultur bangsa melainkan karena
lingkunganlah yang dianggap memaksa bangsa menjadi bangsa maju atau
terbelakang. Kemajuan bangsa bukan karena penduduknya mempunyai perilaku
progresif, pekerja keras, dinamis, melainkan faktor eksternal yang memungkinkan
mereka mencapai kemajuan. Sebaliknya, keterbelakangan bangsa bukan disebabkan
oleh faktor penduduknya yang malas dan faktor produksinya yang tidak ada,
melainkan karena faktor lingkungan berupa hubungannya dengan bangsa-bangsa
lain. Baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang.
Mengapa skenario
pembagian kerja internasional untuk memajukan negara industri dan negara
agraris tidak terpenuhi? Raul Preibisch, seorang ekonom yang bekerja pada
sebuah lembaga PBB, ECLA (Economic
Commission for Latin America) menyatakan bahwa fakta menunjukkan adanya
polarisasi nasib antara negara industri maju dan negara agraris. Negara industri
(negara pusat) cenderung menjadi negara maju sedangkan negara agraris menjadi
negara pinggiran, periferal, atau terbelakang yang selalu tergantung (dependen) terhadap negara maju.
Pengaruh
aspek politik yang menyebabkan ketergantungan dikemukakan oleh Andree Gunder
Frank[7].
Andree Gunder Frank yang bekerja sama dengan Prebisch pada economic Commission for Latin America mempunyai pandangan yang sama
dengan Prebisch. Ketergantungan negara-negara satelit (negara pariferal)
terhadap negara metropolitan (negara pusat) diyakini terjadi sebagai akibat
globalisasi sistem kapitalisme. Keterbelakangan negara-negara satelit adalah
akibat langsung dari terjadinya pembangunan di negara-negara metropolis.
Prebisch
melihat aspek ekonomi dari persoalan ketergantungan, yaitu ketimpangan nilai
tukar. Frank melihat ketergantungan negara satelit terhadap negara metropolis
berkaitan dengan aspek politik antara pemodal asing dengan kelompok yang
berkuasa di negara-negara satelit. Kaum borjuis di negara-negara metropolis mengembangkan
sayap bisnisnya dengan melakukan kerja sama dengan pejabat-pejabat pemerintah
di negara satelit dan kaum borjuis dinegara tersebut. Hasil dari kerjasama antara
pemodal asing dan pemerintah setempat adalah keluarnya kebijakan yang
menguntungkan pemodal asing dan borjuis lokal[8].
Kegiatan ekonomi di negeri itu praktis didominasi oleh ekonomi dari pemodal
asing dengan “kaki tangannya” di dalam negeri. Kaum borjuis lokal dalam konteks
ini dijadikan sebagai payung politik bagi beroperasinya perusahaan-perusahaan
asing. Oleh karena itu, kemajuan ekonomi hanya berkutat pada tiga pihak, yaitu
pemodal asing, borjuis lokal, dan pejabat pemerintah sedangkan rakyat banyak
teralienasi dari perekonomian nasional. Terjadi ketimpangan pendapatan antara
sejumlah elit dan massa proletar.
Dalam
situasi seperti itu, massa proletar
seolah seperti anak ayam kehilangan induk, tidak bisa mengadukan persoalan
kepada para satelit kekuasaan. Tuntutan untuk melepaskan hubungan dengan
investor asing tidak mungkin dilakukan karena mereka yang seharusnya menjadi
tempat mengadu (pengusaha dalam negeri) dan pejabat pemerintah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari borjuis asing sebagai kaki tangannya. Karena jalan
damai tidak mungkin dilakukan, untuk memutuskan hubungan dengan asing maka
solusi yang direkomendasikan adalah sebuah revolusi sosial rakyat, memberontak
terhadap pemerintah.
Rujukan refrensi terkait:
Budiman,
Arief. 1985. Teori Pembangunan Dunia
Ketiga, Jakarta: Gramedia.
Boediono.
1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta:BPFE.
Amir
Effendi Siregar. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi
Politik, Esai-Esai Terpilih, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sukirno,
Sadono. 1982. Ekonomi Pembangunan, Jakarta:
UI Press.
Hudiyanto.
2005. Ekonomi Politik, Jakarta: Bumi
Aksara.
[1]
Hudiyanto, Ekonomi Politik, Bumi
Aksara, Jakarta, 2005.
[2]
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia
Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 18.
[3]
Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi,
BPFE, Yogyakarta, 1982.
[4]
Baca juga misalnya kumpulan tulisan yang disunting Amir Effendi Siregar: Arus Pemikiran ekonomi Politik, Esai-Esai
Terpilih, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
[5]
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, UI
Press, Jakarta, 1982.
[6]
Lihat Amir Effendi Siregar, Arus
Pemikiran Ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1991.
[7]
Arief Budiman, op. cit., hlm. 64-73.
[8]
Arief Budiman, ibid.
bener bgt d ngra kita sbgn besar politik = uang jd sdh pst jdinya koruptor
BalasHapusbener bgt d ngra kita sbgn besar politik = uang jd sdh pst jdinya koruptor... setuju bngt berantas aja koruptor
BalasHapushammer semarang
obat pembesar penis