Perjalanan Hidup Kahlil Gibran
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Saat mendengar nama Kahlil Gibran,
sebagian besar orang kerap kali memberikan statment
sosok yang erat kaitanya dengan puisi-cinta. Dibalik itu, dalam perjalanan
hidupnya, Gibran hidup dalam dua alam imajinasi, pikirannya hidup dalam alam
khayal, hatinya selalu mendayung dalam bentangan samudera kasih, cinta dan
keindahan. Sedang jasadnya hidup dalam alam nyata, dimana kehidupan tidak kerap
bersahabat dengan kaum pencinta.[1]
Kendati demikian, ia hidup dalam alam nyata yang merasakan apa arti pedih,
derita, nestapa, kelaparan, dan lain sebagainya yang kemudian suasana emosional
ini mengilhami karya agungnya.
Dari
karya-karya agungnya, sosok seniman ini telah melegenda dari generasi ke
generasi serta dikenal oleh banyak kalangan dari segala penjuru dunia sampai
saat ini. Bagaimana tidak, karya-karyanya begitu menyentuh pembaca dalam
imajinasi maupun perasaan pembaca karyanya. Meskipun ia hidup berabad-abad yang
lalu, bukan tidak mungkin karya-karyanya hidup dalam imajinasi generasi kontemporer. Alhasil karya agungnya
banyak diterjemahkan dalam berpuluh-puluh bahasa. Hingga pada akhir perjalanan
karya yang telah diciptakannya telah mengilhami para politisi, agamawan, sampai
kaum feminis.
Sosok
kelahiran Lebanon, 6 Januari 1883, memiliki nama asli Jubran Khalil Jubran yang
akrab dengan lidah barat dengan Gibran Kahlil Gibran. Dalam perjalanan hidupnya
ia telah merengkuh dua peradapan. Dari daratan yang eksotis, dengan hutan
padang, hingga daratan yang lebat dengan hutan beton, hingga pada akhir
perjalanannya ia meninggal di New York, Amerika Serikat, 10 April 1931. Jasadnya
telah disemayamkan di tempat kelahirannya (Lebanon).
Melihat
perjalanan hidupnya dimasa silam, ia selalu berpindah ketempat satu dengan
tempat yang lainnya. Dimulai dari mudanya, ia telah beranjak meninggalkan
negeri yang penuh dengan keindahan alam ke Boston, Amerika Serikat tahun 1894
bersama dengan Ibu dan Adik perempuannya. Saat itu Gibran masih berumur sepuluh
tahun. Tak lama setelah kepindahannya, ia kembali ke Lebanon untuk belajar di
Madrasah Al Hikmah, 1896-1901. Dari sekolah inilah Gibran mulai belajar
filsafat yang memberinya pengaruh dalam membuka tirai gaib kehidupan. Dengan
ketajaman akalnya ia mampu menjadi filsuf yang mendengarkan irama jiwa, yang
kemudian mensyairkannya dalam karya-karyanya.
Sesaat setelah ia menyelesaikan studinya,
Gibran kembali ke Amerika. Sekembalinya di sana, ia bertemu dengan Mary Haskell
yang kemudian mengisi bagian dari hidupnya. Wanita ini juga telah berjasa besar
mengangkat nama Gibran sebagai seorang penyair yang terkenal. Dengan keinginan
dan tekat yang kuat menekuni dunia seni pada akhirnya Gibran memutuskan untuk
hijrah menuju Paris guna menekuni dunia seni yang digelutinya lebih mendalam.
Lagi-lagi ia bertemu dengan wanita yang menggetarkan jiwanya. Sosok wanita ini
bernama Micheline. Hati Gibran yang diluap cinta, ternyata cukup luas untuk
menyimpan cinta Mary Haskell dan Micheline sekaligus.
Dalam
masa pendalaman seni di Paris. Gibran membawa keyakinan, bahwa tuhan adalah
maha pencipta keindahan. Baginya pohon, gunung, laut, bulan dan bintang ciptaan
Tuhan jauh lebih indah dan rumit dari pada teknologi buatan manusia. Berdampingan
dengan itu, setelah merasa matang mendalami bidang seni di Paris, ia kembali ke
New York. Sejak saat itu Gibran mulai aktif menulis termasuk menulis beberapa
artikel di berbagai media masa tahun 1912. Tidak main-main, tulisannya telah
buming di berbagai penjuru dunia. Tidak terlewatkan, kritikus vocal sastra Arab
terkemuka seperti May Ziadah tercengang ketika membaca beberapa karya Gibran
yang melepaskan rentang jarak antara Amerika dan Mesir. Hingga pada
perjalanannya perasaan cinta juga tumbuh diantara keduanya.
Hubungan Gibran dengan May Ziadah
tercurahkan melalui karya dan beberapa surat-surat.[2]
Berseberangan dengan itu, hal ini seakan sudah mendekatkan jarak antara mereka
berdua. Di sepanjang kisahnya bersama dengan May Ziadah, Gibran tidak pernah
bertatap muka langsung, ia membiarkan rasa cintanya tumbuh subur dalam hatinya.
Kendati begitu, mereka seakan tidak ada keinginan untuk mendekatkan jarak
selama 20 tahun, hingga pada akhirnya Gibran meninggal 10 Januari 1931 pada
usia yang menginjak 48 tahun.
jadi semakin kenal dengan sosok beliau...thanks infonya...
BalasHapusyour welcome, , ,
BalasHapus