Mengenal "Kelas Menengah"
Seperti yang dapat diketahui bersama, istilah 'kelas menengah' baik
di Indonesia maupun di beberapa negara belahan bumi utara (Amerika-Eropa) memiliki
bermacam-macam karakteristik dalam ideologi maupun arah gerakan yang seragam
mengumandangkan revolusi. Hal ini tergambarkan dari beberapa organisasi maupun
perseorangan yang menginginkan adanya perbaikan atas kesalahan masa lampau. Sebut saja LSM, organisasi masyarakat hingga perkumpulan kaum intelektual adalah wujud dari kelas menengah.
Semua dengan pola sama, yakni perubahan kearah yang lebih baik.
Bersinggungan dengan itu, problem kelas menengah sering memperoleh
perhatian luas. Seperti di Indonesia misalnya, melalui sorotan beberapa media
masa kelas menengah ditempatkan sebagai agen perubahan yang ambigu. Yang mana,
peran kelas menengah mempunyai fokus kepentingan yang hanya sesuai ideologi
yang di usungnya. Bentuk wujud yang ada dalam lapangan misalnya, membela kaum
buruh atau kaum tertindas dari kemunafikan yang ada di dalam negara hingga gerakan
ini kemudian mengacu pada kritikan atas kebijakan pemerintahan yang dianggap tak
sesuai dengan tesis mereka. Disamping sisi, yang digambarkan sebagai kelas
menengah masih mengulang romantisme kelas menengah pada jaman revolusi industri
di Eropa. Kelas menengah dianggap sebagai agen perubahan yang berpihak pada
kelas bawah yang mencoba mengangkat derajat kaum yang tereksploitasi baik dalam
kebijakan maupun secara hak asasi.
Karl Marx & Max Weber |
Mengenai kelas menengah, perdebatan dua pemikiran
besar dari Marx maupun Weber hingga dewasa ini masih menjadi rujukan hangat di
tengah masyarakat luas. Berpondasi pada pemikiran Marx mengenai hubungan yang
ada dalam produksi industrialis, secara tak langsung pemikirannya merujuk pada
pembeda kelas, yang saling bertentangan, yakni antara borjuis atau kaum pemilik
modal dengan kaum buruh atau proletar. Perkembangan selanjutnya—setelah satu
abad Marx—kelas menengah membesar kuat dan terorganisir. Pada awal abad 20, para
pemikir di Eropa telah banyak memunculkan teoritisi yang disebut ‘Marxisme’
yang pembahasannya kaum ini condong pada studi kasus kelas menengah baru. Hingga
saat ini, kelas menengah dapat dibedakan mengenai klasifikasi kelas pekerja. Selanjutnya
pemikiran yang juga berpengaruh luas adalah pemikiran Weber. Bagi Weber, kelas
menengah tidak harus diukur melalui cara kepemilikan faktor produksi. Weber
menggunakan pendekatan yang mencoba menggabungan serta membedakan antara pendapatan,
pendidikan, status sosial atau semua hal yang dapat dikuantifikasi. Gampangnya,
penentuan kelas menengah dapat dipisahkan sesuai perbedaan pendapatan serta
jabatan dalam kerja. Kedua pemikiran ini telah mempengaruhi perdebatan tradisi akademis
global. Bagi yang belajar ilmu sosial dengan tradisi Positivisme, pemikiran
Weber cenderung digunakan guna membedah problem-problem sosial dalam kerja.
Sedangkan bagi yang belajar ilmu sosial dengan tradisi ekonomi politik yang
kuat, maka pemikiran Marx cenderung menjadi rujukan utama hingga pada
perjalanannya melahirkan karya yang mencoba mengembangkan karya Marx
(Marxisme).
Perdebatan ini masih berlanjut hingga saat ini di Indonesia. Kelas
menengah tidak hanya bisa dilihat kepemilikan modal maupun alat produksi yang
digambarkan Marx melainkan muncul kelas baru yang disebut kalangan marxis
sebagai kalangan kelas menengah baru. Perlu ditekankan, kelas menengah baru
kali ini telah diselimuti pandang ideologi yang menyangkut selera atau karakteristik
yang sifatnya kultural. Hal ini tergambarkan pada tabiat yang seragam, mulai
cara berpikir hingga ideologi yang di usung saat menanggapi kebijakan-kebijakan
yang ada baik di lingkungan maupun di dalam negeri.
Kasus kelas menengah Indonesia telah menunjuk kearah statistik
pendapatan, dimana modal utama gerakan ini berupaya mengangkat kesejahteraan
atau dengan kata lain memperbaiki faktor ekonomi dari ideologinya. Bagi
beberapa pengamat di Indonesia hal ini bukan lah bentuk kelas menengah, melainkan
gerakan sosial yang memiliki suatu pandangan tersendiri akan problema yang
dihadapi bangsa. Seperti yang telah dipaparkan Kuntowijoyo menanggapi realita
yang ada era 90an, istilah kelas menengah dirasa kurang sesuai dalam konteks
Indonesia dan pada akhirnya Kuntowijoyo mengistilahkan gerakan ini dilakukan
oleh ‘golongan menengah’. Istilah kelas menengah tak lagi digunakan dalam
kajiannya menanggapi sejarah, oleh karena menghindari tuduhan gerakan kiri (radikal)
serta praduga dari pemerintah (rezim yang berkuasa) guna menghindari tuduhan.
Pada akhirnya pendapat yang disakralkan adalah ‘bukan sebuah kelas’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar