Minggu, 18 November 2012

Populasi dan Problem Perkotaan


Populasi dan Problem Perkotaan
Oleh: Koko Wijayanto[1]
Do you know?
Para perencana dan pembuat kebijakan dari kota-kota di negara berkembang saat ini menghadapi tugas besar. Dalam artian tugas besar yang ada dipundak para pembuat kebijakan seiring dengan sejalannya pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan di dunia pada tingkat yang fenomenal. Tepatnya, di beberapa kota besar, hampir seperempat juta orang (populasi) bertambah setiap tahunnya. Memang suatu bentuk yang luar biasa, yang mana kebiasaan ini membawa para pakar berupaya untuk memperbaiki kondisi kekacauan dimasa kini. Disamping sisi, kota-kota yang sudah lebih besar di masa lalu terus berkembang tanpa batasan yang jelas. Ini merupakan tantangan besar untuk mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan pembangunan perkotaan dan penyediaan jasa.

Beberapa bukti mengarah pada perencana kota dan kebijakan tata kelola kota yang telah gagal menghadapi tantangan ini. Sebagian besar warga (masyarakat) dibiarkan tanpa tempat tinggal yang memadai dan tanpa akses air bersih atau sanitasi, sementara pola pertumbuhan perkotaan telah menyebabkan ketidak efektifan jalannya ekonomi, hingga degradasi lingkungan dan beberapa masalah muncul melanda manusia karna lingkungan yang dapat dikatakan kurang mumpuni dalam hal kesehatan.

Selama beberapa tahun belakangan, perencanaan dan kebijakan pembangunan kota telah membuat upaya untuk membawa situasi kali ini di bawah kendali, yang mana hal ini cenderung tak bisa diabaikan dalam tata kelola kota yang tak bisa diremehkan. Dengan beberapa pengecualian, beberapa upaya aktor-aktor yang bermain didalamnya, terbukti sama sekali tidak dapat mengatasi problem tersebut.

Kali ini kajian difokuskan pada upaya-upaya yang telah dibuat guna merencanakan dan mengelola kota yang berkembang di dunia, dan berusaha untuk menarik pelajaran dari pengalaman di masa lalu sebagai basis untuk mengelola kota-kota yang semakin cepat perkembangannya. Dalam tulisan awal, dapat dilihat skala yang menantang perkotaan, dan implikasinya bagi para perencana kota dan pembuat kebijakan kota. Laporan yang sama dari beberapa penelitian merujuk pada kota-kota di negara berkembang, 40-50 persen penduduk tinggal di daerah kumuh. Kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan pajak tempat tinggal sementara (perumahan) dipandang tidak terlalu memuaskan.

Banyak lagi permasalahan mungkin akan dihadapi oleh kota-kota yang sedang berkembang. Seperti halnya yang terjadi di kota Jakarta. Jakarta merupakan tipikal kota besar dengan pertumbuhan sangat cepat di Asia. Perkembangannya dimulai pada zaman kolonial belanda sekian ratus tahun yang lalu. Hal ini bermula ketika belanda menjadikan Jakarta sebagai pusat kapitalnya atau yang lebih akrab kita sebut Batavia. Pemerintah kolonial belanda membangun pelabuhan di pesisir utara pulau jawa untuk melakukan transaksi ekonomi. Disana juga dibangun pedesaan yang mana mereka gunakan untuk bersinggah para aktor ekonomi Batavia sekaligus berguna transaksi ekonomi mereka bisa terus berjalan dengan mudah.
Setelah kemerdekaan, populasi di kota Jakarta mencapai 600.000 jiwa. 40 tahun kemudian angka ini berkembangbiak menjadi 13 kali lipat, yakni 7,8 juta jiwa. Pertambahan angka tersebut tidak berhenti sampai disitu saja, tetapi terus berkembang hingga saat ini. akan tetapi, pertumbuhan jumlah penduduk yang luar biasa ini tidak diimbangin dengan infrstruktur yang cukup. Populasi yang terus bertambah ini biasanya tinggal di informal settlement/perkampungan kumuh yang terdapat di dalam dan sekitaran kota Jakarta.

Secara general, mereka masih kekurangan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Meskipun, program pengembangan dan penyejahteraan perkampungan seperti itu telah sering digiatkan di Jakarta. Contoh misalnya, kebutuhan air bersih dan sanitasi. Upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini di 10 tahun pertama hanya mampu melayani 14% populasi dengan air pipa yang bersih. 52% menggunakan pompa air sendiri, 32% bergantung pada penjual air keliling, dan sisanya 2% hanya mengandalkan air sungai dan kanal yang sudah tercemar. Pencemaran ini terjadi karena sebagian besar kotoran/human waste masuk ke sungai dan kanal tersebut, yang mana ini menjadi pertanda bahwa sistem pembuangan di Jakarta juga bermasalah.

Selain masalah sanitasi dan sistem pembuangan, masalah transportasi juga tumbuh dan menjamur di Jakarta. Angka pemilikan kendaraan pribadi yang bertambah 4 kali lipat dalam 15 tahun (1970-1985) bersaing ketat dengan angka transporasi umum seperti bus. Hal ini menyebabkan kemacetan parah karena jalan yang semakin sesak. Banyaknya alat transportasi umum maupun pribadi yang beroperasi juga ikut menyumbang polusi udara di Jakarta. Kini dari beberapa kajian serta bukti nyata tentang lingkungan kota besar, dapat disadari bersama bahwa masalah ini bukanlah beban pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama untuk mengelola pembanguna dengan bijak. Bersanding dengan itu, para pakar serta para pembuat kebijakan perlu secara continued mengarahkan pembangunan di masa mendatang demi tercapainya kota yang nyaman serta di idamkan.

[1]  Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar