Meng(Apa) Cowok Selalu Harus Nembak Duluan?
Oleh: Koko Wijayanto[1]
Universitas Gadjah Mada
Modal
utama untuk mengerti orang lain adalah dengan mengenal, baik dari segi mengenal
wajah, kebiasaan, pola pikir, dan lain sebagainya mengenai seseorang tersebut. Dengan
mengenal seseorang dapat memahami beberapa bentuk karakter maupun tipe seseorang.
Kajian ini difokuskan pada peran pria dan wanita pada awal menjalin sebuah
hubungan yang lebih serius (pacaran). Proses ini biasa bermula dari bentuk
interaksi yang sederhana yaitu komunikasi. Komunikasi menjadi modal penting
dalam berinteraksi dengan orang lain. Bentuk interaksi ini dapat berlaku pada ekspresi
tindakan (bahasa tubuh), simbol tulisan maupun melalui bahasa komunikatif (bicara).
Melihat kebiasaan
yang khususnya ada pada remaja, ada istilah yang akrab di kenal di benak anak
muda saat ingin menyatakan rasa ketertarikan dengan lain jenisnya yaitu, “menembak / tembak”.
Hal ini biasa dilakukan seseorang sebagai modal awal menjalin sebuah hubungan
yang lebih serius. Misalnya saja dari hubungan teman menjadi pasangan. Proses ini
bermula pada daya tarik mengenal maupun adanya kepentingan tertentu yang pada
perjalannya berujung pada hubungan yang lebih serius. Proses interaksi ini
bermula melalui sebuah bentuk komunikasi melalui ekspresi tindakan (bahasa
tubuh), simbol tulisan maupun bahasa komunikatif (bicara). Berdampingan dengan
itu, tindakan menyatakan cinta biasa dilakukan oleh pria terlebih dahulu. Disamping
sisi, hal ini juga dipengaruhi oleh anggapan yang berkembang di masyarakat
bahwa, pria harus selalu menyatakan cinta terlebih dahulu pada wanita. Pasalnya,
pria dipandang lebih berani dalam mengambil sebuah keputusan terutama dalam
konteks menyatakan perasaan bila dibandingkan wanita.
Apakah dapat semata-mata dibenarkan?
Anggapan
semacam ini seakan memetakkan peranan sentral pria untuk bebas memilih
pasangan. Argument ini diperkuat dengan
adanya sepenggal kalimat yang popular di kalangan masyarakat bahwa, “Cowok bebas memilih, cewek bebas menentukan”.
Namun perlu dicermati, beberapa faktor yang melatar belakangi tindakan ini diantaranya
kecenderungan pada anggapan lingkungan dan juga tradisi yang dilakukan seseorang
di masyarakat. Dari latar belakang ini, pria seakan termotivasi atau bahkan kerap
kali menjadi sebuah tuntutan pria untuk menyatakan perasaan terlebih dahulu
pada wanita. Padahal wanita pun bisa melakukan hal yang demikian serupa.
Dalam
peristiwa ini, wanita biasa melakukan komunikasi melalui bahasa tumbuh karena
enggan mengekspresikan suasana hati. Dengan kata lain, wanita hanya sebatas
memberikan sinyal atas apa yang dirasakan pada lawan jenis yang ia suka. Dari hasil
pengamatan salah satu dokter Montréal, Québec, Canada memperkuat, ketika wanita merasa nyaman di dekati maupun dekat
dengan seorang pria, mereka hanya sebatas memberi keterbukaan (welcome) tempat maupun waktu dalam berinteraksi. Konkritnya ada
perhatian khusus dari wanita terhadap pria yang dekat dengan dirinya. Perlu dimengerti,
wanita kadang kali menganggap “mencintai
bukan berarti harus mengucapkan”, yang akhirnya hanya di ekspresikan
melalui isarat yang kerap kali kurang dipahami oleh pria dalam membaca gerak
gerik seorang wanita. Dapat dikatakan, wanita sangat pintar dalam
menyembunyikan perasaan hatinya.
Seperti
yang berkembang dalam kebiasaan di masyarakat, fenomena ini telah subur di pikiran
seseorang atau sebuah hal yang “wajar” di kehidupan mereka. Secara tidak
disadari, hal ini telah menjadi aturan yang seakan menjadi kebiasaan di kalangan
masyarakat khususnya remaja dalam memulai sebuah hubungan “pacaran” di
kehidupannya. Bila dicermati, saat fenomena ini dibalik atau dirubah, ketika wanita
menyatakan perasaan pada pria terlebih dulu, kiranya terasa ada hal yang ganjil
dan dapat menuai perbedaan pendapat di antara beberapa kalangan. Pasalnya,
mereka perpandangan hal ini selalu / harusnya dilakukan seorang pria, padahal dalam
kasus ini wanita bisa melakukan (menyatakan perasaan) lebih dahulu.
Berdekatan
dengan itu, wanita beranggapan, jika wanita mengungkapkan perasaan cinta
terlebih dahulu pada pria, mereka seakan menanggung resiko besar yang biasa
dikatakan wanita dengan “harga diri”. Apakah benar ini adanya? Kendati
demikian, kontroversi yang muncul dikalangan remaja hanyalah pengaruh dari
kebiasaan orang lain yang ada dilingkungan masyarakatnya. Bermula dari sini,
secara tidak sadar seseorang telah menganggap hal ini sakral di bagian hidup
mereka. Dengan demikian diketahui jawaban awal atas kasus ini bahwa, pria ‘mustinya’
aktif - agresif dan wanita ‘mustinya’ pasif - responsive dalam berinteraksi dengan lawan jenis.
Kenapa membudaya?
Bila dianalisa
lebih mendalam memakai sudut pandang beberapa tokoh sentral ilmu sosial,
khususnya disiplin ilmu sosiologi. Meminjam istilah “Determinan Lingkungan”
Emile Durkheim, lingkungan sangat penting dalam mempengaruhi status dan peran
individu di dalam masyarakat. Perlu diperjelas, dari pengaruh lingkungan seseorang
dapat menganggap hal yang dilakukan merupakan bentuk nilai (baik-buruk) dan
norma (benar-salah) yang bersifat sosial di masyarakat. Ringkasnya, apa yang
dilakukan seseorang dimasyarakat tidak terlepas dari pengaruh maupun stimulus lingkungan
masyarakatnya.
Menggunakan
verstehen (pemahaman) Max Weber dalam
melihat fenomena kali ini, istilah ini berguna, pertama, “memahami” pikiran maupun tindakan yang terjadi menurut
subjektifitas atau kehendak aktor. Kedua,
mengenali konteks yang melingkupi dan yang menjadi latar belakang pemahaman
dalam tindakan yang dilakukan ataupun yang terjadi. Dengan demikian, salah satu
motif seseorang melakukan tindakan dapat dipahami.
Dalam
konteks tindakan sosial, Weber membagi dalam beberapa bentuk tindakan sosial (social action). Perlu dicatat, beberapa
bentuk tindakan semacam ini dilakukan dengan penuh kesadaran atau berkecimpung
pada rasionalitas (dapat diterima akal maupun pikiran dalam melakukannya). Beberapa
tipe tindakan rasional yang terdapat pada prilaku masyarakat (menyatakan cinta)
salah satunya masuk pada value rational
action (tindakan rasionalitas nilai), tindakan semacam ini adalah bentuk tindakan
yang terkait dengan “komitmen”. Tindakan ini dilakukan dengan penuh kesadaran
yang tidak terlepas dari norma, nilai, budaya, hukum, ataupun juga
bentuk-bentuk lainnya yang berkembang dalam masyarakat tersebut.
Lebih dari itu, ada bentuk lain tindakan rasional
yang dikemukakan Weber, yaitu rational
traditional action (cara bertindak aktor dalam batasan kelaziman menurut
individu tersebut). Perlu dicermati, tindakan rasional tradisional semacam ini
adalah tindakan yang di ulang secara teratur (berulang), yang juga menjadi
kebiasaan seseorang, tidak menjadi persoalan kebenaran dan keberadaannya dalam
masyarakat. Tindakan semacam ini adalah tindakan warisan yang diturunkan dari
generasi yang lalu. Bentuk kongkrit dari tindakan ini, “Saya(pria) melakukan
ini karena biasa melakukan duluan.” Begitupun sebaliknya, “Saya(wanita) tidak
melakukan itu karena hal itu biasa dilakukan pria.” Dampak dari kebiasaan ini juga
dapat menjadi motivasi pria menyatakan perasaannya terlebih dahulu pada wanita.
Sebagai rangkumannya,
tindakan yang dilakukan baik pria maupun wanita sebenarnya mendapat pengaruh
dari luar diri aktor. Dengan kata lain, aksi yang dilakukan adalah meniru
kebiasaan orang lain yang sudah ada sebelumnya (keberulangan). Bisa jadi,
tindakan ini dilatar belakangi dengan meniru keluarga, teman, ataupun orang lain
yang akhirnya juga ditiru oleh aktor tersebut.
Kesimpulan
Hal ini
adalah fenomena yang dapat ditemukaan di masyarakat pada umumnya. Sebenarnya jika
dipandang atau dapat disamakan, beberapa hak yang mustinya bisa dilakukan baik
wanita maupun pria dapat disamakan atau dipandang dapat diseimbangkan. Dalam
konteks ini wanita sebenarnya bisa melakukan duluan dalam menyatakan cinta pada
pria dengan terlepas dari pengaruh kebiasaan / budaya yang ada dalam masyarakat.
Namun sayang, kerap kali wanita memandang hal ini bukan sebuah kewajaran jika
wanita menyatakan cinta terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk memulai sebuah
hubungan dipandang hal ini wajar bila dilakukan oleh pria. Disamping sisi, hal
ini mempengaruhi mental wanita yang takut untuk menyatakan cinta terlebih
dahulu.
Sebagai
kesimpulan akhir melihat fenomena atau kebiasaan yang ada di masyarakat yang
khususnya popular di kalangan remaja,
sebenarnya tindakan yang dilakukan adalah bentuk pilihan dari sebuah kebiasaan
dalam masyarakat. Dapat dikatakan, hal ini adalah salah satu bentuk “budaya”
yang berkembang di masyarakat yang terus di lestarikan di masyarakat. Kendati demikian,
bila hal ini dibalik kiranya bukan hal yang salah ataupun buruk dalam
penafsirannya. Perlu disadari, norma dan nilai yang berkembang di masyarakat sebenarnya
relative atau terbatas pada pemahaman
seorang individu dalam masyarakat.
Dengan memahami
persamaan hak, kendati dalam memulai sebuah hubungan pernyataan cinta (menembak)
dilakukan wanita duluan kiranya adalah sebuah bentuk variasi dalam tindakan
seseorang. Sangat disesalkan memang, jika wanita yang mengawali hubungan
mendapat anggapan tidak layak atau kurang pantas. Poin penting yang harus di
mengerti adalah budaya maupun kebiasaan masyarakat mempengaruhi anggapan yang
dilakukan seseorang. Sehingga pada akhirnya yang muncul adalah anggapan pantas-tidak
ataupun baik-buruk dalam menanggapi fenomena ini.
Ada sisi
menarik di lirik band Vierra yang popular di Indonesia tahun 2011 berjudul “Terlalu Lama”
dalam mengangkat ke-eksistensi-an
kaum wanita. Kiranya hal ini perlu di acungi jempol bawasanya mereka menekankan
bahwa, wanita dapat memulai sebuah hubungan terlebih dulu. Di bagian liriknya mengatakan, “…Hari ini ku akan mengatakan cinta,
menyatakan cinta. Aku tak mau menunggu terlalu lama, terlalu lama. Sadarkah
kau, ku adalah wanita, aku tak mungkin memulai…” Sebagai kesimpulan akhir, bila
seorang wanita menyatakan / mengungkapkan yang akrab di dengar “I love you” (aku cinta kamu) lebih awal
dibandingkan pria bukanlah sebuah problem
yang terus dipelihara di masyarakat.
…******
Referensi Terkait
Usman, Sunyoto., Sosiologi Sejarah,
Teori dan Metodologi, Penerbit CIRED, Yogyakarta, 2004.
Jones, Pip., Pengantar Teori-Teori
Sosial, Penerbit Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2009.
George Ritzer and Douglas J., Goodman, Teori Sosiologi, Penerbit Kreasi Wacana, Bantul, Yogyakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar