Sabtu, 19 November 2011

Meng(Apa) Cowok Selalu Harus Nembak Duluan?


Meng(Apa) Cowok Selalu Harus Nembak Duluan?
Oleh: Koko Wijayanto[1]
Universitas Gadjah Mada

Modal utama untuk mengerti orang lain adalah dengan mengenal, baik dari segi mengenal wajah, kebiasaan, pola pikir, dan lain sebagainya mengenai seseorang tersebut. Dengan mengenal seseorang dapat memahami beberapa bentuk karakter maupun tipe seseorang. Kajian ini difokuskan pada peran pria dan wanita pada awal menjalin sebuah hubungan yang lebih serius (pacaran). Proses ini biasa bermula dari bentuk interaksi yang sederhana yaitu komunikasi. Komunikasi menjadi modal penting dalam berinteraksi dengan orang lain. Bentuk interaksi ini dapat berlaku pada ekspresi tindakan (bahasa tubuh), simbol tulisan maupun melalui bahasa komunikatif (bicara).
Melihat kebiasaan yang khususnya ada pada remaja, ada istilah yang akrab di kenal di benak anak muda saat ingin menyatakan rasa ketertarikan dengan lain jenisnya yaitu, “menembak / tembak”. Hal ini biasa dilakukan seseorang sebagai modal awal menjalin sebuah hubungan yang lebih serius. Misalnya saja dari hubungan teman menjadi pasangan. Proses ini bermula pada daya tarik mengenal maupun adanya kepentingan tertentu yang pada perjalannya berujung pada hubungan yang lebih serius. Proses interaksi ini bermula melalui sebuah bentuk komunikasi melalui ekspresi tindakan (bahasa tubuh), simbol tulisan maupun bahasa komunikatif (bicara). Berdampingan dengan itu, tindakan menyatakan cinta biasa dilakukan oleh pria terlebih dahulu. Disamping sisi, hal ini juga dipengaruhi oleh anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa, pria harus selalu menyatakan cinta terlebih dahulu pada wanita. Pasalnya, pria dipandang lebih berani dalam mengambil sebuah keputusan terutama dalam konteks menyatakan perasaan bila dibandingkan wanita.
Apakah dapat semata-mata dibenarkan?
Anggapan semacam ini seakan memetakkan peranan sentral pria untuk bebas memilih pasangan. Argument ini diperkuat dengan adanya sepenggal kalimat yang popular di kalangan masyarakat bahwa, “Cowok bebas memilih, cewek bebas menentukan”. Namun perlu dicermati, beberapa faktor yang melatar belakangi tindakan ini diantaranya kecenderungan pada anggapan lingkungan dan juga tradisi yang dilakukan seseorang di masyarakat. Dari latar belakang ini, pria seakan termotivasi atau bahkan kerap kali menjadi sebuah tuntutan pria untuk menyatakan perasaan terlebih dahulu pada wanita. Padahal wanita pun bisa melakukan hal yang demikian serupa.
Dalam peristiwa ini, wanita biasa melakukan komunikasi melalui bahasa tumbuh karena enggan mengekspresikan suasana hati. Dengan kata lain, wanita hanya sebatas memberikan sinyal atas apa yang dirasakan pada lawan jenis yang ia suka. Dari hasil pengamatan salah satu dokter Montréal, Québec, Canada memperkuat, ketika wanita merasa nyaman di dekati maupun dekat dengan seorang pria, mereka hanya sebatas memberi keterbukaan (welcome) tempat maupun waktu dalam berinteraksi. Konkritnya ada perhatian khusus dari wanita terhadap pria yang dekat dengan dirinya. Perlu dimengerti, wanita kadang kali menganggap “mencintai bukan berarti harus mengucapkan”, yang akhirnya hanya di ekspresikan melalui isarat yang kerap kali kurang dipahami oleh pria dalam membaca gerak gerik seorang wanita. Dapat dikatakan, wanita sangat pintar dalam menyembunyikan perasaan hatinya.
Seperti yang berkembang dalam kebiasaan di masyarakat, fenomena ini telah subur di pikiran seseorang atau sebuah hal yang “wajar” di kehidupan mereka. Secara tidak disadari, hal ini telah menjadi aturan yang seakan menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat khususnya remaja dalam memulai sebuah hubungan “pacaran” di kehidupannya. Bila dicermati, saat fenomena ini dibalik atau dirubah, ketika wanita menyatakan perasaan pada pria terlebih dulu, kiranya terasa ada hal yang ganjil dan dapat menuai perbedaan pendapat di antara beberapa kalangan. Pasalnya, mereka perpandangan hal ini selalu / harusnya dilakukan seorang pria, padahal dalam kasus ini wanita bisa melakukan (menyatakan perasaan) lebih dahulu.
Berdekatan dengan itu, wanita beranggapan, jika wanita mengungkapkan perasaan cinta terlebih dahulu pada pria, mereka seakan menanggung resiko besar yang biasa dikatakan wanita dengan “harga diri”. Apakah benar ini adanya? Kendati demikian, kontroversi yang muncul dikalangan remaja hanyalah pengaruh dari kebiasaan orang lain yang ada dilingkungan masyarakatnya. Bermula dari sini, secara tidak sadar seseorang telah menganggap hal ini sakral di bagian hidup mereka. Dengan demikian diketahui jawaban awal atas kasus ini bahwa, pria ‘mustinya’ aktif - agresif dan wanita ‘mustinya’ pasif - responsive dalam berinteraksi dengan lawan jenis.
Kenapa membudaya?
Bila dianalisa lebih mendalam memakai sudut pandang beberapa tokoh sentral ilmu sosial, khususnya disiplin ilmu sosiologi. Meminjam istilah “Determinan Lingkungan” Emile Durkheim, lingkungan sangat penting dalam mempengaruhi status dan peran individu di dalam masyarakat. Perlu diperjelas, dari pengaruh lingkungan seseorang dapat menganggap hal yang dilakukan merupakan bentuk nilai (baik-buruk) dan norma (benar-salah) yang bersifat sosial di masyarakat. Ringkasnya, apa yang dilakukan seseorang dimasyarakat tidak terlepas dari pengaruh maupun stimulus lingkungan masyarakatnya.
Menggunakan verstehen (pemahaman) Max Weber dalam melihat fenomena kali ini, istilah ini berguna, pertama, “memahami” pikiran maupun tindakan yang terjadi menurut subjektifitas atau kehendak aktor. Kedua, mengenali konteks yang melingkupi dan yang menjadi latar belakang pemahaman dalam tindakan yang dilakukan ataupun yang terjadi. Dengan demikian, salah satu motif seseorang melakukan tindakan dapat dipahami.
Dalam konteks tindakan sosial, Weber membagi dalam beberapa bentuk tindakan sosial (social action). Perlu dicatat, beberapa bentuk tindakan semacam ini dilakukan dengan penuh kesadaran atau berkecimpung pada rasionalitas (dapat diterima akal maupun pikiran dalam melakukannya). Beberapa tipe tindakan rasional yang terdapat pada prilaku masyarakat (menyatakan cinta) salah satunya masuk pada value rational action (tindakan rasionalitas nilai), tindakan semacam ini adalah bentuk tindakan yang terkait dengan “komitmen”. Tindakan ini dilakukan dengan penuh kesadaran yang tidak terlepas dari norma, nilai, budaya, hukum, ataupun juga bentuk-bentuk lainnya yang berkembang dalam masyarakat tersebut.
 Lebih dari itu, ada bentuk lain tindakan rasional yang dikemukakan Weber, yaitu rational traditional action (cara bertindak aktor dalam batasan kelaziman menurut individu tersebut). Perlu dicermati, tindakan rasional tradisional semacam ini adalah tindakan yang di ulang secara teratur (berulang), yang juga menjadi kebiasaan seseorang, tidak menjadi persoalan kebenaran dan keberadaannya dalam masyarakat. Tindakan semacam ini adalah tindakan warisan yang diturunkan dari generasi yang lalu. Bentuk kongkrit dari tindakan ini, “Saya(pria) melakukan ini karena biasa melakukan duluan.” Begitupun sebaliknya, “Saya(wanita) tidak melakukan itu karena hal itu biasa dilakukan pria.” Dampak dari kebiasaan ini juga dapat menjadi motivasi pria menyatakan perasaannya terlebih dahulu pada wanita.
Sebagai rangkumannya, tindakan yang dilakukan baik pria maupun wanita sebenarnya mendapat pengaruh dari luar diri aktor. Dengan kata lain, aksi yang dilakukan adalah meniru kebiasaan orang lain yang sudah ada sebelumnya (keberulangan). Bisa jadi, tindakan ini dilatar belakangi dengan meniru keluarga, teman, ataupun orang lain yang akhirnya juga ditiru oleh aktor tersebut.
Kesimpulan
Hal ini adalah fenomena yang dapat ditemukaan di masyarakat pada umumnya. Sebenarnya jika dipandang atau dapat disamakan, beberapa hak yang mustinya bisa dilakukan baik wanita maupun pria dapat disamakan atau dipandang dapat diseimbangkan. Dalam konteks ini wanita sebenarnya bisa melakukan duluan dalam menyatakan cinta pada pria dengan terlepas dari pengaruh kebiasaan / budaya yang ada dalam masyarakat. Namun sayang, kerap kali wanita memandang hal ini bukan sebuah kewajaran jika wanita menyatakan cinta terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk memulai sebuah hubungan dipandang hal ini wajar bila dilakukan oleh pria. Disamping sisi, hal ini mempengaruhi mental wanita yang takut untuk menyatakan cinta terlebih dahulu.
Sebagai kesimpulan akhir melihat fenomena atau kebiasaan yang ada di masyarakat yang khususnya popular di kalangan remaja, sebenarnya tindakan yang dilakukan adalah bentuk pilihan dari sebuah kebiasaan dalam masyarakat. Dapat dikatakan, hal ini adalah salah satu bentuk “budaya” yang berkembang di masyarakat yang terus di lestarikan di masyarakat. Kendati demikian, bila hal ini dibalik kiranya bukan hal yang salah ataupun buruk dalam penafsirannya. Perlu disadari, norma dan nilai yang berkembang di masyarakat sebenarnya relative atau terbatas pada pemahaman seorang individu dalam masyarakat.
Dengan memahami persamaan hak, kendati dalam memulai sebuah hubungan pernyataan cinta (menembak) dilakukan wanita duluan kiranya adalah sebuah bentuk variasi dalam tindakan seseorang. Sangat disesalkan memang, jika wanita yang mengawali hubungan mendapat anggapan tidak layak atau kurang pantas. Poin penting yang harus di mengerti adalah budaya maupun kebiasaan masyarakat mempengaruhi anggapan yang dilakukan seseorang. Sehingga pada akhirnya yang muncul adalah anggapan pantas-tidak ataupun baik-buruk dalam menanggapi fenomena ini.
Ada sisi menarik di lirik band Vierra yang popular di Indonesia tahun 2011 berjudul “Terlalu Lama” dalam mengangkat ke-eksistensi-an kaum wanita. Kiranya hal ini perlu di acungi jempol bawasanya mereka menekankan bahwa, wanita dapat memulai sebuah hubungan terlebih dulu. Di bagian liriknya mengatakan, “…Hari ini ku akan mengatakan cinta, menyatakan cinta. Aku tak mau menunggu terlalu lama, terlalu lama. Sadarkah kau, ku adalah wanita, aku tak mungkin memulai…” Sebagai kesimpulan akhir, bila seorang wanita menyatakan / mengungkapkan yang akrab di dengar “I love you” (aku cinta kamu) lebih awal dibandingkan pria bukanlah sebuah problem yang terus dipelihara di masyarakat.
…******
Referensi Terkait
Usman, Sunyoto., Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodologi, Penerbit CIRED, Yogyakarta, 2004.
Jones, Pip., Pengantar Teori-Teori Sosial, Penerbit Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2009.
George Ritzer and Douglas J., Goodman, Teori Sosiologi, Penerbit Kreasi Wacana, Bantul, Yogyakarta, 2010.



[1] Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar