Friedrich
Wilhelm Nietzsche
Oleh: Koko
Wijayanto
Universitas
Gadjah Mada
Pengantar Pemikiran Friedrich Nietzsche
“Dunia
ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri
yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!”[1]
Dari
kalimat tersebut sedikitnya adalah salah satu kalimat pengantar untuk mengenal
sosok yang controversial bernama
lengkap Friedrich Wilhelm Nietzsche. Seperti dikenal oleh beberapa orang, sosok
Nietzsche dikenal dengan pemikiran yang sangat unik dalam menanggapi fenomena
kemanusiaan yang terjadi pada era abad ke-18. Dalam beberapa sumber tertentu
sosok Nietzsche dikenal dengan pengaruh radikalnya. Oleh beberapa sebab,
karya-karyanya bersifat ambiguitas
dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi. Dari buah karyanya,
Nietzsche menjadi orang yang berpengaruh pada pemikiran post-moderenisme.
Dibalik itu, seperti yang tampak dalam sifat ego Nietzsche, filsafatnya juga
salah satu pendobrak awal pemikiran eksistensi yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh
kontemporer.
Filsafat Nietzsche merupakan filsafat
yang menyuburkan pemikiran independent.
Dari beberapa karya Nietzche telah memberi bukti bahwa Nietzsche mempunyai
maksud tujuan yang secara tidak langsung telah dirasakan saat ini mempengaruhi
pandangan dunia dalam pemikiran anti-idealisme. Dapat dikatakan, sebagian besar
filsafat Nietzsche masih bisa ditemukan bahkan bisa dikembangkan sampai dekade ini.
Disamping sisi, pemikirannya lebih bersifat rasional. Akan tetapi, adapun
faktor yang mendorong Nietzsche berfikir dan mulai menuliskan karyanya yang
idealis juga tidak lepas dari kehidupannya yang keras-problematis. Dengan filsafat yang dipandang relevan saat ini, menjadi
salah satu factor yang menjadi pendobrak karya-karya Nietzsche diterbitkan
secara anumerta.
Dengan kecermatanya menanggapi
problema kehidupan, ia berusaha untuk menanggapi segala fakta sosial[2]
yang terjadi di kehidupannya dengan kesadaran yang bisa diterima dengan akal. Adakalanya
untuk mengenang akar filsafat Nietzsche yang juga berhubungan erat dengan
pemikiran Descartes. Descartes adalah salah satu tokoh pembangkit filsafat pada
abad pertengahan dengan deklarasinya yang terkenal dan mendarah daging di dunia
ilmu pengetahuan sosial dengan bahasa latin “Cogito Ergo Sum” (saya berfikir maka saya ada). Dari deklarasi
Descartes, mulailah bergejolak suatu zaman pencerahan yang mendasarkan pada
penalaran-rasionalitas. Selanjutnya, hal ini diperkuat oleh beberapa pendapat
cendekiawan Inggris yang merespon kebenaran pemikiran Descartes. Mereka
menyimpulkan bahwa pengetahuan yang mereka gunakan selama itu lebih bersifat experience (pengalaman) bukan didasarkan
pada reason (penalaran). Atas
anggapan kebenaran ini sosok Nietzsche berkembang menjadi sosok pemikir yang
mandiri dalam menaggapi fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya.
Dalam beberapa karyanya Nietzsche
adalah sosok yang memperlihatkan betapa ia tak mempunyai rasa takut sedikitpun
dalam berkarya, sehingga pada akhirnya ia tak khawatir melepaskan boomerang
yang pada ujungnya bisa membaliknya juga bisa hancur oleh karna kata-katanya
sendiri.
Karya-Karya Utama (Anumerta)
The Birth of Tragedy (1871),
Human, All-Too-Human (1878),
Thus Spoke Zarathusta 1-4 (1883-5),
Twilight of the Idols (1888),
Ecce Homo (1889).
Kehidupan Sekilas Nietzsche
Friedrich Wilhelm Nietzsche
dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1844 di Saxony, Prusia. Ayahnya adalah
seorang pendeta Lutheran, Ludwig, yang meninggal pada tahun 1849 dalam usia 36
tahun setelah menderita sakit jiwa selama satu tahun.[3]
Dibalik itu, lima generasi keluarga Nietzsche telah menghasilkan 20 Pendeta.
Keluarga Nietzsche adalah keturunan dari Aristokrat Polandia. Sedikit
menceritakan tentang kakek Nietzsche bernama Friedrich August Ludwig
(1756-1826)[4], ia
adalah seorang pendeta terkemuka, hingga pada tahun 1796, Friedrich August
Ludwig di anugrahi gelar doktor kehormatan yang diberikan oleh Universitas
Koenigsberg atas pembelaanya terhadap agama yang dianutnya yaitu Kristen, kakek
Nietzsche diberikan gelar kehormatan oleh karena merespon dan mengupayakan
redanya kekacauan spiritual yang terjadi akibat Revolusi Prancis.
Nietzsche muda terlihat berpembawaan serius dan
berwibawa, seakan-akan ia mempunyai tanggung jawab penting dalam hidup. Dengan kata lain, Nietzsche muda
dikenal dengan sosok yang karismatik. Selain karismatik yang nampak sejak
kecil, Nietzche juga seorang anak yang sangat religious kala itu. Ketika dia
berumur 6 tahun, setelah ayahnya meninggal akibat penyakit yang di katakan
dokter mengenai kegilaan ayahnya disebabkan oleh “melemahnya otak”. Sejak saat
itu, Nietzsche dibesarkan oleh ibunya di Naumburg. Dalam lingkungan tempat
tinggal Nietzsche, sebagian besar penghuni lingkungan tersebut adalah wanita.
Nietzsche sangat dimanja di lingkungan tempat tinggalnya hingga ia dijuluki
“pendeta kecil”. Ia dikenal di lingkungannya sebagai anak yang sangat cerdas,
hingga pada akhirnya ia mulai merenungkan tentang kehidupan dirinya sendiri.
Dalam renungan Nietzsche, ia
memikirkan tentang pemberontakan atas dirinya sendiri. Dari awal gejolak
pemikirannya yang lebih bersifat akal dari buah pemikirannya, ia merasakan
mempunyai keganjilan yang mengganggu hidupnya. Hingga pada ia berumur 18 tahun,
ia mulai meragukan imannya. Pemikiran ini timbul atas dasar dirinya sendiri dan
tidak dipengaruhi oleh para tokoh pemikir manapun. Dari anggapan kebenaran yang
bersifat objektif inilah Nietzsche menjadi salah satu tokoh pemikir yang
mandiri dalam beberapa karyanya.
Tahun 1858, ia masuk sekolah asrama
di Pforta, dan memperoleh nilai tinggi dalam bidang agama, sastra Jerman, dan zaman
klasik, tetapi kurang bagus prestasinya dalam bidang matematika dan menggambar.[5]
Nietzsche kuliah di Universitas Bonn untuk mempelajari teologi dan filologi
klasik, dan mempunyai tujuan awal inggin menjadi Pastur. Dibalik itu,
sebenarnya nasibnya tidak lepas dari pengaruh para perempuan yang mengasuh
Nietzche muda, mereka menginginkan Nietzche untuk menjadi Pastur. Di dalam
pikiran alam bawah sadarnya ia mulai mengalami dorongan untuk memberontak.
Dalam menghadapi tekanan yang diberikan oleh orang-orang yang penting di
sekelilingnya tempo dulu, hal ini mendukung karakter Nietzsche untuk berubah
menjadi sosok yang tak dapat diduga oleh para pengasuhnya.
Sebelum sampai di Universitas Bonn,
sosok Nietzsche adalah sosok penyendiri. Hingga pada akhirnya ia menjadi sosok
mahasiswa yang suka bergaul dengan teman-temanya. Lalu, ia juga bergabung
dengan kelompok yang berbeda dalam dunia Nietzche sebelumnya. Ia mulai ikut
minum-minuman beralkohol dengan teman-temannya, bahkan juga suka berkelahi.
Hingga pada akhirnya ia mengalami cedera usai bertengkar dengan seseorang. Akan
tetapi, luka goresan yang membekas pada hidungnya pada akhirnya tertutup oleh
ganggang kacamatanya. Setelah mendapatkan luka itu Nietzsche pun mengambil
keputusan untuk berhenti dalam kelompok anarkisnya.
Sejak tahun 1889, ia mengalami
gangguan mental yang tak bisa disembuhkan di Turin. Ketika sedang
berjalan-jalan ia tersungkur dengan lengan yang merangkul erat leher kuda. Kemudian
ia dibantu untuk masuk kembali kedalam kamarnya. Kemudian ia juga sempat menulis
beberapa kartu pos untuk beberapa orang penting yang pernah dia kenal. Dapat dikatakan
sementara, Nietzsche telah mati secara pikiran tahun 1889.
Secara klinis Nietzsche sudah tak
waras lagi, Hampir bisa dipastikan penyakit yang dideritanya tidak dapat
disembuhkan lagi. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1900 Nietzsche dalam asuhan
adik perempuannya (Elisabeth) meninggal di Weimar. Faktor utama penyebab
kematiannya adalah penyakit yang sudah sekian lama menggerogoti tubuhnya. Sejak
kematiannya, Elisabeth mulai membenahi catatan-catatan Nietzsche yang kemudian di
edit oleh Walter Kaufman. Akhirnya buku itu dapat diterbitkan sebagai “The Will to Power” yang dianggap hingga
saat ini adalah karya terbaik dari Nietzsche.
Konsep Inti Karya Nietzche
Untuk
mengetahui tema inti dari beberapa karya Nietzsche yang fenomenal hingga saat
ini, adapun konsep kunci dalam tulisannya yang menempati posisi terpenting juga
sering disebutnya dalam beberapa tulisannya. Di sisi lain, yang harus diketahui
dalam beberapa tulisan Nietzsche tidak menggunakan gaya metodis (bersandarkan
metode; dengan pola teratur). Dengan sikapnya yang konsisten ‘idealisme’ sampai
pada akhirnya beberapa buah karya Nietzche berkembang keberbagai arah. Dengan
‘idealismenya’ ia telah membuat contoh tulisan yang tidak terpaut oleh budaya
dan bukan pula masuk pada ranah sistem sosial masyarakatnya. Oleh karnanya,
beberapa karya Nietzsche dapat ditemukan beberapa kata yang di ulang-ulang.
Secara tidak langsung, karya-karya Nietzsche telah memiliki konsep metode
maupun memiliki polanya sendiri.
The Will to Power
Konsep terpenting dalam buah karya
yang melekat erat dalam beberapa tulisannya adalah “will to power”. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa
Nietzsche mengembangkan konsep inti dari Schopenhaur dari kehidupan Yunani kuno
yang mengadopsi gagasan-gagasan timur. Berkesimpulan, bahwa alam semesta
dikendalikan oleh kehendak buta.[6]
Nietzche dalam study mencari gagasan
Yunani kuno telah menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong peradapan
semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam mencari sebuah
kekuasaan. Hal ini di pertegas Nietzsche yang tertulis dalam buku terjemahan
karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale sebagai berikut:
“Dunia
ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri
yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!”
Dengan konsep yang berbahaya inilah,
pada akhirnya melahirkan para pemikir yang berkutat pada “idealisme” dalam
menuliskan buah pikiran maupun dalam tindakannya (tidak lepas dari pengaruh
Nietzsche). Hal ini bersandar pada salah satu pendapat Nietzsche, “Sikap mengidam-idamkan kekuasaan telah
mengalami berbagai perubahan selama berabad-abad, tetapi sumbernya tetap saja
kawah yang sama… Suatu yang pada zaman dahulu dilakukan orang “demi Tuhan”,
sekarang ini kita lakukan demi uang… inilah yang saat ini menciptakan kepuasaan
terutama atas kekuasaan.” (Die
Morgenrote, The Dawn, 204).
The Superman
Apa yang dimaksudkan Nietzsche
mengenai “manusia super” bukanlah sesosok Supermen yang ada pada tataran fiksi
dalam beberapa film maupun juga kartun yang ada saat ini. Adapun Superman yang
dalam tokoh fiksi bisa terbang, memiliki kekuatan, kecepatan dan ketahanan
melebihi anak-anak biasa.[9]
Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan apa yang digambarkan Nietzsche.
Disisi lain, Superman yang dimaksudkan oleh Nietzsche dalam Zarathusta adalah sesosok orang yang menggambarkan dirinya sendiri
– merujuk pada tempat dimana ia tinggal di sebuah dunia yang di dalamnya berisi
tentang kenaifan. Secara tidak langsung, Nietzsche juga mengemas beberapa
karakeristik tokoh yang penuh kesungguhan, dan sangat membosankan. Dalam Thus Spake Zarathustra, Nietzsche
menyatakan dengan mengilhami tokoh ciptaannya ini bahwa, “Apa artinya monyet bagi manusia? Sebuah figur yang menyenangkan atau
sesuatu yang memalukan? Manusia akan tampil persis seperti monyet di depan
Superman.” (Thus Spake Zarathustra, Bagian Pertama, Prolog Zarathustra, Bag. 3).
Dibalik karya Zarathustra, terdapat kisah-kisah perumpamaan yang menabjubkan.
Diantaranya kisah Kristus dan Khotbah di Bukit yang di anggapnya sederhana dan
kekanak-kanakan. Dibalik cerita itu, sebenarnya sama sekali bukan hal yang
sederhana, dan hal ini akan menjadi hal yang sangat mendalam. Itulah pesan yang
diamanatkan pada Zarathustra. Adapun
salah satu kalimat yang dinyatakan Nietzsche yang tertulis dalam buku Human, All Too Human: “Kepercayaan adalah
musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran ketimbang kebohongan.” (Human, All
Too Human, Vol I, Bagian 9, h. 483.)
Khotbah-khotbah Nietzsche merupakan
perlawanan terhadap nilai-nilai Kristiani: masing-masing
individu harus memikul beban tanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya
sendiri dalam sebuah dunia yang tak memiliki Dewa atau Tuhan. Seseorang harus
menciptakan nilai-nilainya sendiri dengan kebebasan yang tanpa kekangan apa
pun. Sebagai akibat dari perbuatannya itu, tak ada yang dinamakan sangsi,
akhirat atau apapun yang serupa dengan itu.[10]
Dalam ramalan Nietzsche, ini adalah suatu kondisi yang terjadi sejak lama.
Begitu beraninya, ia juga mengajukan tulisan yang yang musti dilakukan: “…semua omong kosong Zarathustra akan menjadi
Superman.”
Nietzsche menggabungkan Superman dengan maksud-maksud seperti
“kemuliaan” dan “asal keturunan”. Dalam menggambarkan tokoh Superman inilah ia tidak menyinggung
mengenai ras maupun kebangsaan manapun. Dalam salah satu tulisan, penanya
mengacu pada “the Almanac de Gotha: an
enclosure for asses” (Will to Power;
942-edisi revisi 1906 atau 1911; di dalam edisi Hartle, catatan ini dibuang, tanpa penjelasan) dan menyatakan
dalam bagian lain, “Ketika aku berbicara
tentang Plato, Pascal, Spinoza, dan Goethe, aku tahu bahwa darah mereka
mengalir di dalam tubuhku” (Edisi Musarion (1920-1929) diambil dari Collected Work, XXI, 98). Dalam pandangan Nietzsche, darah orang Yunani, Perancis, Yahudi
dan Jerman adalah darah leluhur yang mengalir dalam tubuh Superman yang diciptakannya. Pasalnya, mereka memandang bahwa rasa
tau keturunannya lebih unggul dibandingkan ras manusia yang lain.
[1]
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, diterjemahkan oleh Walter Kaufman, dan
R.J. Hollingdale, New York, Vintage Books, 1968, Sect, 1067, p.550. Penekanan
dari Nietzsche.
[2]
Baca! Emile Durkheim mengenai “Fakta Sosial”.
[3]
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, Kanisius,
Yogyakarta, 2001, h. 329.
[4]
Marc Sautet, Nietzsche Untuk Pemula,
Kanisius, Yogyakarta, 2001, h. 6.
[5]
Walter Kaufmann, Nietzsche, New York,
Vintage Books, edisi ketiga, 1968, h. 22.
[6]
Paul Strathern, 90 Menit Bersama
Nietzsche, Penerbit Erlangga, Jakarta, h. 49.
[7]
Ibid, h. 49.
[8]
Baca juga! Social Action dan Rasionalitas Max Weber.
[9]
J.Com, Super Hero Amerika Misi
Penyelamatan Bumi, Multicom, Yogyakarta, 2010, h. 15.
[10]
Paul Strathern, op, cit. h. 54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar