Munculnya Tindak Kriminal di
Masyarakat Kelas Bawah
Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Seperti yang dapat diketahui bersama,
beberapa faktor penyebab tindak kriminal ataupun kejahatan dalam masyarakat
adalah kemiskinan. Berdampingaan dengan itu, kemiskinan dapat diartikan dengan keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Diantaranya, keterbatasan memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), juga pendidikan
dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh tidak dimilikinya alat pemenuh
kebutuhan dasar seperti uang. Dengan demikian, dampak yang timbul akan bermula
pada keterbatasan mengakses pendidikan. Dalam hal yang sama, sulitnya mencari
pekerjaan dapat menjadi pendukung lain dalam kemiskinan.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan
tindakan kriminal ataupun kejahatan, namun perlu disadari, faktor kemiskinanlah
yang menjadi modal awal terjadinya tuntutan kebutuhan hidup. Pasalnya dengan
hidup dalam keterbatasaan maupun kekurangan akan mempersulit seseorang memenuhi
kebutuhan hidupnya. Baik dari segi kebutuhan sandang (pakaian),
pangan (makanan), papan (tempat tinggal), juga pendidikan dan kesehatan.
Selain
tidak mampunya mencapai kesejahteranan, pendidikan adalah salah satu modal
sosial seseorang dalam pencapaian kesejahteraan. Dimana dengan pendidikan,
syarat pekerjaan dapat terpenuhi. Dengan demikian seseorang yang mempunyai
penghasilan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari segi ekonomis.
Perlu diketahui, beberapa motif
penyebab tindak kejahatan adalah kondisi yang serba kekurangan. Berdekatan
dengan itu, motivasi ingin memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya menjadi
faktor penyebab tindak kriminal. Seperti halnya, makhluk hidup dalam
kehidupannya bermodalkan awal supplement makanan
untuk menghasilkan energi dalam beraktifitas.
Setelah mengetahui gejala dan problm yang dihasilkan oleh desakan beberapa
kebutuhan dasar khususnya desakan ekonomi, yang pada akhirnya akan berdampak
pada konformitas. Sebelum menelisik
lebih dalam fenomena yang terjadi, kajian Jean Baudrillard tentang masyarakat
konsumsi kiranya dapat membantu dalam proses analisa realita yang ada. Meminjam
istilah “distingsi” dari Baudrillard,
bahwa gejala yang muncul dalam masyarakat adalah sebuah alternatif dimana
seseorang secara tidak langsung baik sadar maupun tidak sadar dituntut memenuhi
kebutuhannya. Dengan demikian, gejala yang timbulkan atas motif seseorang untuk
memenuhi kebutuhan sosial adalah dengan membedakan jarak sosial. Dengan
demikian pilihan selera yang menjadi motif dari kebutuhan hidup dapat
terjabarkan.
Dengan kata lain, konformitas bukanlah dipandang
semata-mata penyamaan status maupun penyeragaman yang disadari kelompok (tiap
individu yang disejajarkan dengan yang lainnya). Berdampingan dengan itu, hal
ini merupakan motivasi seseorang karena memiliki kode atau status yang sama
secara umum. Atas dasar demikian, kesamaan dipandang dapat mencukupi beberapa
kepentingan dalam memenuhi kebutuhannya. Bersebrangan dengan itu, motif daya
saing tentu berawal dari mengetahui kelemahan yang dimiliki saingannya. Dilain
sisi, hal ini muncul oleh karena seseorang memiliki kawasan bawah sadar logika
sosial.[1]
Dengan demikian, secara instrumentally
rational[2]
membawa mereka pada cara-cara dimana kebutuhan hidup dapat di penuhi. Bukan
tidak mungkin, gejala yang diakibatkan adalah konflik pertentangan dan
persaingan.
Dari munculnya tindakan pintas atau
bentuk tindakan frontal yang dapat dilakukan oleh seseorang, munculnya aktor
baru dalam lapangan dapat dipengaruhi oleh tindakan aktor pertama. Dalam artian
(memakai istilah Anthony Giddens), “dualitas
struktur” pesaing baru dalam kekuasaan adalah dengan meniru (memberikan
kemampuan bagi perilaku) cara atau upaya yang dilakukan.[3]
Hingga pada perjalanannya, timbul kesenjangan sosial dalam suatu siklus
masyarakat. Dengan demikian tingkat persaingan untuk menguasai pasar adalah hal
yang muncul dari abstraksi main
persaingan.[4]
Perlu disadari, munculnya penguasa yang memiliki peran sentral dalam grup
tertentu, memiliki modal awal will to
power[5]
dalam memenuhi kebutuhannya.
Setelah memahami salah satu resiko
yang muncul dari fenomena kemiskinan, hal tersebut bukanlah ciri dari
modernitas akhir. Dengan deemikian, gejala-gejala yang muncul di selang waktu
tertentu akan dapat berubah tergantung situasi-kondisi yang dialami struktur
masyarakat tertentu. Dapat saja konflik yang terjadi akan tetap ada dan
membudaya. Namun juga sebaliknnya, bila mana masyarakat dapat mengobati
penyakit yang membudaya tersebut.
Sentralnya konsep resiko yang ada
dalam masyarakat, mendorong pemikir Jerman seperti Ulrich Beck. Munculnya
resiko di pandang oleh karena ketidak mampuan masyarakat memenuhi kebutuhannya.[6]
Sedikit menilik dampak dari ketidak berdayaan memenuhi kebutuhan sehari-hari,
hal ini dipengaruhi pada produktifitas kerja yang dimiliki seseorang. Dengan
demikian pendidikan untuk menunjang syarat tercapainya mendapatkan kerja
sangatlah penting bagi masyarakat itu sendiri.
Pada akhirnya dapat diketahui, bahwa
status sosial yang diantaranya ditunjang oleh faktor pendidikan sangatlah
penting bagi terpenuhnya kebutuhan sehari-hari. Meskipun dampak pendidikan
tidak terjadi secara instan, namun pola resiko yang akan muncul adalah
kurangnya prasyarat dalam tercapainya mendapatkan kerja yang mapan. Dengan
terpenuhi atau tercukupinya kebutuhan hidup, masyarakat bias mengembangkan
polanya sendiri dalam gaya hidup. Dengan demikian, pentingnya sebuah pendidikan
menjadi salah satu penentu dalam tercapainya kemapanan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal) maupun
kesehatan.
Referensi
Bagong Suyanto dan Sutinah, 2005, Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan, Jakarta: Kencana.
Bisri Mustafa dan Eilsa Vindi
Maharani, 2008, Kamus Lengkap Sosiologi, Yogyakarta: Panji Pustaka.
Pip Jones, 2009, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga
Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jean P Baudrillard, 2009, Masyarakat Konsumsi(trjm), Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
George Ritzer and Douglas J. Goodman, 2010, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
h. 136.
Paul Strathern, 2001, 90 Menit Bersama Nietzsche, Jakarta: Penerbit Erlangga.
[1] Jean P
Baudrillard, Masyarakat Konsumsi(trjm), Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2009, Hlm. 107-108.
[2]
Instrumentally rational action (Weber),
adalah tindakan yang pada dasarnya dilakukan dengan adanya kepentingan maupun
tujuan tertentu. Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan oleh seseorang di
dasarkan pada pertimbangan dan pilihan yang secara sadar dipilih untuk mencapai
sebuah tujuan.
[3]
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2009, Hlm. 240.
[4]
Jean P Baudrillard, op. cit., Hlm. 109.
[5] Konsep terpenting dalam buah karya Nietzsche yang
juga melekat erat dalam beberapa tulisannya adalah ‘will to power’. Dalam
kesimpulannya memandang fenomena ia berpendapat, bahwa alam semesta
dikendalikan oleh kehendak buta. Dengan demikian, kekuatan yang menjadi
pendorong peradapan semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi
(absolute) dalam mencari sebuah kekuasaan. Hal ini di pertegas Nietzsche yang
tertulis dalam buku terjemahan karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale
sebagai berikut:
“Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa –
dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa
ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!”
Dalam hal
yang sama, untuk mencapai kesempurnaan, manusia terdorong oleh suatu ‘Kehendak
untuk Berkuasa’. Dengan kata lain, jantung pergerakan tindakan yang dilakukan
manusia tidak lepas dari suatu kehendak.
[6] Pip Jones, op. cit., Hlm. 244-245.
nmpaknya fktor eknmi untuk saat mshmnjdi pnybab utma.
BalasHapusjgn lupa mampir ke eMingko Blog